Mohon tunggu...
Nizwar Syafaat
Nizwar Syafaat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kalau Mau Membangun dengan Utang, Belajarlah ke Tetangga Sebelah

18 Agustus 2018   22:00 Diperbarui: 18 Agustus 2018   22:10 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasio utang pemerintah Malaysia terhadap GDP sebesar 50.9% lebih besar dibanding utang pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 28.70%.  Kalau angka ini diperlihatkan kepada Menkeu Sri Mulyani pasti dia akan bilang utang pemerintah Indonesia masih lebih baik dibanding Malaysia. 

Itulah argumentasi Menkeu setiap disindir tentang utang.  Disindir utang oleh Ketua MPR seperti itu jawabannya.  Besaran utang pemerintah masih di bawah yang ditetapkan undang-undang sebesar 60% dari GDP.  Indonesia termasuk kelompok negara dunia dengan rasio utang pemerintah terhadap GDP yang kecil.  Selanjutnya Menkeu mengatakan kalau mau mengkritik tentang utang harus pakai data jangan dilihat besarannya.  Harus juga dikaitkan dengan postur APBN yang sedang menuju perbaikan keseimbangan primernya dan defisit APBNnya yang makin mengecil.

Saya mau mengkritisasi utang pemerintah pakai data dan tidak hanya dikaitkan dengan postur APBN tapi dikaitkan dengan dampaknya terhadap kinerja ekonomi nasional karena utang itu sendiri dijadikan instrumen kebijakan fiskal untuk memberikan stimulus perbaikan kinerja ekonomi nasional.

Keseimbangan Primer APBN Megawati, SBY dan Jokowi

Realisasi Keseimbangan Primer (pos pengeluaran tanpa cicilan bunga dikurangi pendapatan) APBN era Megawati dan era SBY positif, sedangkan era Jokowi negatif. Keseimbangan primer  era Megawati mengalami surplus Rp 45 T per tahun, era SBY tujuh tahun surplus dan tiga tahun terakhir defisit dengan rata-rata surplus selama 10 tahun sebesar Rp 0.7T per tahun, sedangkan era Jokowi tiga tahun terakhir negatif dengan rata-rata minus Rp 132T. 

Fakta ini berarti bahwa era Megawati dan era SBY pengeluaran APBN tidak dibiayai oleh utang (tiga tahun terakhir era SBY yang mungkin akan diperdebatkan namun realisasi keseimbangan primer tetap positif), sedangkan era Jokowi memang merencanakan APBN dengan utang. 

Warisan utang dari era Megawati dan SBY bukan penarikan utang untuk membiyai APBN tapi penarikan utang yang digunakan untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang.  Pemerintahan sebelumnya tidak menggunakan utang untuk membiayai APBN karena selain mencicil bunga dan pokok utang sudah berat, juga penarikan utang baru akan memperburuk defisit neraca transaksi berjalan (current account) yang kronis membahayakan ekonomi eksternal kita.

Neraca Perdagangan dan Transaksi Berjalan (current account).     

Neraca transaksi berjalan merupakan indikator yang kuat untuk melihat kelangkaan dollar.  Jika negatif mengindikasikan kelangkaan dollar menyebabkan rupiah melemah dan sebaliknya.  Oleh karena itu, ketika rupiah anjlok menyentuh Rp 14600 diikuti oleh defisit neraca perdagangan bulan juli 2018 di luar perkiraan minus US$ 2 milliar, Menkeu Sri Mulyani langsung bertindak cepat mengrem impor dan mendorong ekspor.

Impor tinggi disebabkan oleh tingginya permintaan bahan baku dan barang modal untuk pembangunan infrastruktur yang dipicu oleh tingginya akselerasi pembangunan infrastruktur melampui titik optimalnya yang dilakukan oleh pemerintah dan BUMN melalui utang.  Dengan demikian kebijakan pembiayaan APBN dengan utang ternyata menyebabkan impor melonjak.  Oleh karena itu, Presiden menunda beberapa proyek infrastrukur agar tekanan terhadap impor berkurang.

Apabila pemerintah tidak mampu menurunkan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, maka nilai tukar rupiah akan melemah terus dan melemahnya nilai tukar rupiah tersebut akan menjadi faktor eksogen dengan daya jelajah yang luas dan daya rusak yang kuat terhadap sendi pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan pembiayaan utang untuk pembangunan infrastruktur dalam kondisi defisit transaksi berjalan yang kronis justru akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi di bawah yang ditargetkan.

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia memang menggunakan utang untuk membiayai APBN-nya tapi kondisi neraca perdagangan dan transaksi berjalan selama 10 tahun terakhir positif dan nilainya besar.  Contohnya neraca perdagangan bulan Mei 2018 surplus sebesar US$ 2 milliar dan neraca transaksi berjalan surplus sebesar US$ 3,7 milliar.  Kita perlu belajar ke tetangga sebelah Malaysia, kalau mau membangun dengan utang.

Saran saya Menkeu Sri Mulyani jangan terlalu lantang dan terlalu yakin menggunakan keamanan utang dengan ukuran rasio terhadap PDB, tetapi contohlah Malaysia walaupun rasio utangnya terhadap PBD lebih besar dari Indonesia tetapi aman dari gejolak ekonomi eksternal.

Indikator neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan patut dijadikan pertimbangan untuk melakukan ekspansi pembiayaan APBN melalui  utang.  Jepang dan Korea Selatan memiliki nilai positif untuk kedua neraca tersebut, kecuali Amerika Serikat.  Kita bisa maklumi Amerika Serikat demikian, karena negara tersebut memiliki mata uangnya  (dollar) yang berlaku sebagai alat tukar di seluruh dunia.  Kita berutang jangan meniru Amerika Serikat, kita meniru tetangga sebelah Malaysia agar tidak masuk perangkap krisis seperti Turki.

           

           

Nizwar Syafaat, Ekonom dan  Pengamat Kebijakan Publik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun