Pernyataan optimisme tentang potensi ekonomi Indonesia disampaikan oleh Sri Mulyani Indarwati (SMI) di acara penyambutan bagi alumnus penerima beasiswa lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP)---Welcoming Alumni LPDP---di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin 7 Mei 2018 malam.
Menteri Keuangan SMI menyatakan bahwa dia tidak takut berdebat dengan orang yang punya pemikiran sempit dan tidak percaya diri terhadap potensi Indonesia di masa depan.
"Saya lihat akal mereka ini yang dipikirkan hanya kepribadian sempit, katak dalam tempurung, selalu ketakutan, hidupnya hanya curiga, tidak bisa lihat orang yang berbeda, tidak mampu bergaul dengan orang yang berbeda dengan kita, mereka itu adalah masa depan yang mengkhawatirkan. Saya tidak takut kepada tantangan berdebat," kata SMI.
Menurut SMI, kualitas suatu negara ditentukan dari kualitas para elite-nya. Dalam hal ini, SMI menilai para alumnus dan awardee LPDP merupakan elite sekaligus generasi penerus bangsa Indonesia.
"Negara ini sedang dititipkan pada Anda. Jadi, kalau hari ini ada orang yang hanya komplain seperti SMI APBN-nya ngutang melulu, saya menantang Anda untuk bersuara, give your voice of reason. Tidak ada yang saya takuti, yang saya takuti adalah cara berpikir terutama generasi muda yang tidak mau berpikir terbuka," tegas SMI.
Menurut SMI, permasalahan jabatan, debat, jadi menteri yang dinilai tidak pintar atau tidak terbaik, bukan hal yang dia takuti karena tidak ada konsekuensi terhadap negara. Justru, kata dia, sikap dan cara berpikir warga Indonesia yang tidak peduli, selalu pesimistis, tidak bisa bergaul, serta takut berkompetisi yang punya konsekuensi terhadap kelangsungan negara.
Pikiran Pakar Sempit
Sri Mulyani memandang pikiran pakar yang mengkritik dirinya sebagai pikiran katak dalam tempurung. Â Memang begitu, kalau pikiran seseorang terlalu optimis akan menilai pikiran orang yang mengkritiknya sebagai suatu hambatan yang harus disingkirkan.
Ketika dikritik utang melonjak, Presiden Jokowi bilang bahwa itu, yang besar adalah utang warisan, bukan utang saya. Padahal Jokowi adalah satu satunya Presiden setelah era reformasi yang menciptakan utang untuk meningkatkan pengeluaran APBN-nya. Â Dua tahun terakhir pemerintahan SBY melakukan hal yang sama tapi rata-rata keseimbangan primer selama 10 tahun masih positif Rp 0.7 Trilliun.Â
Pikiran terbuka SMI berargumentasi bahwa persentase utang kita terhadap PDB masih lebih rendah dibanding negara lain seperti Jepang, Amerika dan lainnya. Ini pikiran benar tapi menyesatkan.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa efsiensi utang pada pemerintahan SBY hampir 2 kali lipat dibanding pemerintahan Jokowi.  SMI menurunkan defisit anggaran pada tahun 2018 menjadi 1.36% PDB dibanding tahun sebelumnya, tapi ekonomi tumbuh lebih tinggi menjadi 5.06%.  Dengan demikian, makin rendah defisit makin tinggi efisiensinya. Fakta tahun 2018 mengkonfirmasi bahwa pemerintahan Jokowi sesungguhnya telah gagal memanfaatkan utang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau kebijakan APBN-defisit ekspansif melalui utang gagal mendorong pertumbuhan ekonomi. Apa ini pikiran sempit?