Mohon tunggu...
Nizan Solehudin
Nizan Solehudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lakukan Segala Sesuatu Atas Nama Tuhan dan Kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembali Menafsir

23 April 2022   19:01 Diperbarui: 23 April 2022   19:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan pembangunan tidak serta merta hanya melihat dari sudut pandang penghasilan yang di ukur melalui kalkulasi matematis, pendapatan per kapita dan sebagainya, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerancuan dari filosofis pembangunan itu sendiri. Mengapa perubahan yang terjadi saat ini yang begitu dahsyat tidak mampu untuk dinikmati dan dirasakan oleh sebagian manusia yang sama-sama lahir dari rahim seorang ibu dan tanah yang sama? Apakah perkembangan yang terjadi saat ini hanya milik mereka yang mempunyai akses dan inklusifisme? Kiranya hal tersebut menjadi spekulasi yang sangat dasar untuk di pikirkan oleh seluruh makhluk yang berakal. Maka terjadinya perampokan, pembunuhan, kelapaan, dan kegilaan, sebagai dampak dari permasalahan yang dibuat oleh aturan dan kebijakan yang di legitimasi oleh segelintir manusia, dan praksisnya menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Kita harus mengubah seluruh elemen yang dijadikan sandaran oleh manusia, elemen yang dimaksud bukan dalam tataran teologis, akan tetapi hal yang mengatur aktivitas manusia dalam memancarkan eksistensinya dalam kehidupan jagat microkosmos dan macrokosmos, melalui dalil-dalil kemanusiaan, keadilan, hak dan kewajiban.

Terkait pembangunan terdapat dua kategori yang harus di perhatikan, pertama bagaimana tata cara dalam membuat pembangunan terhadap manusia itu sendiri dan bagaimana aturan dan nilai-nilai yang dipakai dalam pembangunan tersebut, yang nantinya akan menjadi tata cara hidup dan berkehidupan. Konsep tata cara itu sendiri yang sebetulnya tidak diperhatikan, terkesan sederhana mungkin, Ketika melihat dari sudut pandang istilah dan bahasa, akan tetapi kata "tata" itu dapat dikatakan sebagai aturan, tertib atau petunjuk bangunan peraturan. Jika "tata" itu tidak diperhatikan, menjadi sebuah keniscayaan kehidupan manusia tidak mencapai ketentraman, kebahagiaan, kejernihan dan kebijaksanaan.

Hidup itu ada aturan yang tidak boleh dianggap sepele dan tidak berguna, sehingga dimungkinkan menghalangi insting thanatos yang bernuansa negatif dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu yang terlepas dari nilai hidup layaknya seorang manusia berakal dan beretika. Seluruh kemiskinan, permasalahan sosial yang terjadi, mungkin hal tersebut dikibatkan kita memperhatikan kaidah-kaidah, nilai, moral dan etika yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan yang terdapat secara implisit dalam kata "tata cara" tersebut. Dalam istilah Buddha disebut sebagai "Patticasamupada" yang berarti mata rantai sebab akibat yang dihasilkan oleh manusia, baik itu yang bersifat positif maupun negatif.

Oleh sebab itu, kita harus tekankan bahwa kemiskinan, kelaparan, kegilaan merupakan hanya sebagai dampak dari ketidak berpihakannya pembangunan kehidupan sosial melalui legitimasi yang di absolutkan. Hal tersebut dapat terlihat dalam pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, terlalu dini dan terburu kiranya apabila menyimpulkan. Namun, seluruh kompleksitas yang dirasakan saat ini dapat kita tafsirkan dengan kecakapan intusi dan batin setiap manusia yang di konfrimasi dengan akal pikiran manusia secara deskriptif dan rasional.

Kita perlu meninjau hal ini dengan berbagai multiperspektif baik dari sisi teologis, sosiologi, filsafat dan ilmu humaniora lainnya, akan tetapi kiranya spekulasi dan asumsi yang di paparkan dalam tulisan sederhana ini menjadi sesuatu yang nyata terlihat dengan jelas secara tertulis maupun ucapan yang kita nikmati sehari-hari. Tanpa adanya kebebasan, identitas diri, berfikir kritis, dalam diri manusia kiranya masalah seperti akan menjadi sesuatu yang akan terus berjalan sampai tidak ada yang menelisik secara continental dan analitik. Inipun tidak akan terjadi apabila kapabilitas yang berarti kemampuan untuk mendayakan terkait dengan hak dan kewajiban, dan pemerataan pembangunan terhadap manusia.

Untuk bisa menciptakan kehidupan manusia yang berkembang baik secara individu maupun sosial, nampaknya perlu untuk memenuhi dasar-dasar yang menjadi kebutuhannya, tanpa adanya hal tersebut menjadi sesuatu yang memuakan dan omong kosong semata. Terdapat banyak kehidupan negara-negara yang paling berbahagia, tentram, terjamin dan sebagainya, walaupun hal tersebut diiringi dengan korespondensi antara pemasukan maupun pengeluaran, pemasukan dan pengeluaran disini terkait dengan banyak dimensi hak dan kewajiban dan kemampuan mengakses kehidupan sosial. Apabila hal demikian hanya bertendensi terhadap negara-negara yang sudah mapan dan maju, tidak sepenuhnya salah, karena mereka sudah memegang prinsip dan cara hidup dan berkehidupan yang baik. Akan tetapi negara-negara yang sebaliknya pun bisa melakukan hal serupa, tentunya dengan konsep dan praksis yang berbeda, untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan di dunia diperlukannya kesadaran dan menjernihkan kehendak dalam berfikir dan bertindak baik untuk diri sendiri maupun kehidupan sosial.

"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya"

Pramoedya Ananta Toer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun