Mohon tunggu...
Nizan Solehudin
Nizan Solehudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lakukan Segala Sesuatu Atas Nama Tuhan dan Kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembali Menafsir

23 April 2022   19:01 Diperbarui: 23 April 2022   19:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KEMBALI MENAFSIR

Nizan Solehudin

Manusia sebagai makhluk yang mempunyai emas berlian berbentuk kecil yang berada dalam kepala, menjadikannya mampu untuk mencipta dan mengkontruksi atas keterlemparan dirinya secara eksistensial di semesta ini.

Kita memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dalam fisik, akan tetapi berjaya dengan akalnya, hal inilah yang menciptakan peradaban yang dirasakan dengan segala kompleksitas dan perkembangannya, perkembangan tersebut harus dipandang sebagai dua mata koin yang mempunyai dua bentuk yang mencerminkan eros (positif) dan thanatos (negatif). Hal tersebut bukan tanpa sebab terjadi, dari awal kita sepakati bahwa akal pikiran manusia yang menjadi sumber dalam tatanan kehidupan manusia dewasa ini, yang bermuara terhadap pendefinisian kultur dan kebudayaan seperti apa yang ada saat ini. Setiap masa periodik tertentu, akan selalu ditemukan masa dan kebudayaan apa yang di pegang dan di internalisasikan sebagai bentuk pembangunan kehidupan, apabila berkaca terhadap hal tersebut Indonesia sudah melewati beberapa tahap transformasi perubahan?

Dengan adanya perubahan yang dramatis bahkan kualitatif, harus mampu untuk mencapai identitas diri dan kesejatian diri sebagai bangsa, karena manusia tumbuh oleh pengalaman dan pengetahuan. Lalu, masyarakat Indonesia dimana menyimpan pengalaman dan pengetahuan, sebagai bekal untuk mempersiapkan kehidupan di masa depan.

Kita tidak akan mampu untuk bertahan berdiri lama sebagai bangsa, apabila tidak mampu memberdayakan pengalaman dan pengetahuan tersebut, agar bisa berguna terhadap kontruksi sosial dan pembangunan kehidupan yang berasaskan nilai dan moral sebagai manusia dan bangsa. Bangsa yang besar ialah bangsa yang mampu menghargai sejarah dan pengalaman hidup yang penuh pengorbanan dan penderitaan begitulah ucap bapak ploklamator kita.

Perlu kita mempertanyakan berbagai perkembangan kehidupan yang meliputi banyak dimensi hari ini, berdasarkan hasil ap aitu terjadi? Apakah seluruh perkembangan ini dapat diberikan predikat merawat seluruh makhluk yang tidak berakal? Nilai dan moral apa yang dipakai atas perkembangan kehidupan saat ini? Dimana letak manusia dan apa perkembangan seperti apa yang di wacanakan?

Pertanyaan ini layak diajukan sebagai refleksi manusia terhadap pengalaman dan kontruksi pengetahuan yang mereka pelajari dan renungkan, tanpa perenungan tersebut, kiranya tidak ada pendefinisian ulang atau rekontruksi kehidupan seperti apa yang tidak hampa itu. Hidup adalah perjuangan, perjuangan untuk mampu menafsir segala hal yang menghampiri setiap individu baik yang mengecewakan baik yang menggemberikan, perjuangan melawan ekspetasi yang tidak sesuai dengan imajinatif, sehingga memporak-porandakan jiwa.

Pembangunan macam apa yang bisa memberikan harapan dan kebahagiaan bagi umat manusia? Apakah pembangunan hari ini sudah mampu menjawab persoalan fundamental manusia?

Kita sepakati bahwa pembangunan melampaui struktur politik, ekonomi, hukum yang bersifat parsial, pembangunan merupakan dasar untuk melihat kekhususan itu untuk menjadi sebuah paradigma besar yang menuntun kehidupan manusia secara harmonis. Harmonisasi disini bukan dalam tataran semu yang berkaitan dengan dua pasangan suami istri, dua orang yang baru saja merayakan hari jadiannya.

Substansi harmonisasi disini kita sepakati sebagai ide pengatur yang membuat manusia merasa nyaman hidup, membuat manusia mempunyai harapan, membuat manusia mempunyai hak dan kebebasan dalam mengakses pembangunan yang dihasilkan, membuat manusia selesai dalam jagat microkosmosnya, membuat manusia sehat secara jasmani dan rohaninya, serta yang paling penting berkembang secara intelektual, emosional, dan spiritualitas melalui pendidikan dalam keluarga dan pendidikan yang dilembagakan. Hidup yang tidak sesuai hanya akan menghasilkan kepincangan layaknya manusia kehilangan satu kaki untuk berjalan.

Membicarakan pembangunan tidak serta merta hanya melihat dari sudut pandang penghasilan yang di ukur melalui kalkulasi matematis, pendapatan per kapita dan sebagainya, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerancuan dari filosofis pembangunan itu sendiri. Mengapa perubahan yang terjadi saat ini yang begitu dahsyat tidak mampu untuk dinikmati dan dirasakan oleh sebagian manusia yang sama-sama lahir dari rahim seorang ibu dan tanah yang sama? Apakah perkembangan yang terjadi saat ini hanya milik mereka yang mempunyai akses dan inklusifisme? Kiranya hal tersebut menjadi spekulasi yang sangat dasar untuk di pikirkan oleh seluruh makhluk yang berakal. Maka terjadinya perampokan, pembunuhan, kelapaan, dan kegilaan, sebagai dampak dari permasalahan yang dibuat oleh aturan dan kebijakan yang di legitimasi oleh segelintir manusia, dan praksisnya menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Kita harus mengubah seluruh elemen yang dijadikan sandaran oleh manusia, elemen yang dimaksud bukan dalam tataran teologis, akan tetapi hal yang mengatur aktivitas manusia dalam memancarkan eksistensinya dalam kehidupan jagat microkosmos dan macrokosmos, melalui dalil-dalil kemanusiaan, keadilan, hak dan kewajiban.

Terkait pembangunan terdapat dua kategori yang harus di perhatikan, pertama bagaimana tata cara dalam membuat pembangunan terhadap manusia itu sendiri dan bagaimana aturan dan nilai-nilai yang dipakai dalam pembangunan tersebut, yang nantinya akan menjadi tata cara hidup dan berkehidupan. Konsep tata cara itu sendiri yang sebetulnya tidak diperhatikan, terkesan sederhana mungkin, Ketika melihat dari sudut pandang istilah dan bahasa, akan tetapi kata "tata" itu dapat dikatakan sebagai aturan, tertib atau petunjuk bangunan peraturan. Jika "tata" itu tidak diperhatikan, menjadi sebuah keniscayaan kehidupan manusia tidak mencapai ketentraman, kebahagiaan, kejernihan dan kebijaksanaan.

Hidup itu ada aturan yang tidak boleh dianggap sepele dan tidak berguna, sehingga dimungkinkan menghalangi insting thanatos yang bernuansa negatif dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu yang terlepas dari nilai hidup layaknya seorang manusia berakal dan beretika. Seluruh kemiskinan, permasalahan sosial yang terjadi, mungkin hal tersebut dikibatkan kita memperhatikan kaidah-kaidah, nilai, moral dan etika yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan yang terdapat secara implisit dalam kata "tata cara" tersebut. Dalam istilah Buddha disebut sebagai "Patticasamupada" yang berarti mata rantai sebab akibat yang dihasilkan oleh manusia, baik itu yang bersifat positif maupun negatif.

Oleh sebab itu, kita harus tekankan bahwa kemiskinan, kelaparan, kegilaan merupakan hanya sebagai dampak dari ketidak berpihakannya pembangunan kehidupan sosial melalui legitimasi yang di absolutkan. Hal tersebut dapat terlihat dalam pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, terlalu dini dan terburu kiranya apabila menyimpulkan. Namun, seluruh kompleksitas yang dirasakan saat ini dapat kita tafsirkan dengan kecakapan intusi dan batin setiap manusia yang di konfrimasi dengan akal pikiran manusia secara deskriptif dan rasional.

Kita perlu meninjau hal ini dengan berbagai multiperspektif baik dari sisi teologis, sosiologi, filsafat dan ilmu humaniora lainnya, akan tetapi kiranya spekulasi dan asumsi yang di paparkan dalam tulisan sederhana ini menjadi sesuatu yang nyata terlihat dengan jelas secara tertulis maupun ucapan yang kita nikmati sehari-hari. Tanpa adanya kebebasan, identitas diri, berfikir kritis, dalam diri manusia kiranya masalah seperti akan menjadi sesuatu yang akan terus berjalan sampai tidak ada yang menelisik secara continental dan analitik. Inipun tidak akan terjadi apabila kapabilitas yang berarti kemampuan untuk mendayakan terkait dengan hak dan kewajiban, dan pemerataan pembangunan terhadap manusia.

Untuk bisa menciptakan kehidupan manusia yang berkembang baik secara individu maupun sosial, nampaknya perlu untuk memenuhi dasar-dasar yang menjadi kebutuhannya, tanpa adanya hal tersebut menjadi sesuatu yang memuakan dan omong kosong semata. Terdapat banyak kehidupan negara-negara yang paling berbahagia, tentram, terjamin dan sebagainya, walaupun hal tersebut diiringi dengan korespondensi antara pemasukan maupun pengeluaran, pemasukan dan pengeluaran disini terkait dengan banyak dimensi hak dan kewajiban dan kemampuan mengakses kehidupan sosial. Apabila hal demikian hanya bertendensi terhadap negara-negara yang sudah mapan dan maju, tidak sepenuhnya salah, karena mereka sudah memegang prinsip dan cara hidup dan berkehidupan yang baik. Akan tetapi negara-negara yang sebaliknya pun bisa melakukan hal serupa, tentunya dengan konsep dan praksis yang berbeda, untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan di dunia diperlukannya kesadaran dan menjernihkan kehendak dalam berfikir dan bertindak baik untuk diri sendiri maupun kehidupan sosial.

"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya"

Pramoedya Ananta Toer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun