Mohon tunggu...
Niya Miest
Niya Miest Mohon Tunggu... Guru - Ini awal

Semangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Batik di Kota Yogyakarta Awal Abad ke-20

9 Juli 2019   15:37 Diperbarui: 9 Juli 2019   16:03 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Erat sangkutannya dengan seni berpakaian adalah seni kerajinan, terutama dengan seni tenun, seni batik, seni ikat,dan seni tekstil Indonesialain. Cabang kesenian itu sudah berakar dalam kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahannya, dapat menonjolkan sifat khas Indonesia, memberi rasa bangga pada pemakainya, dan dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mempertinggi mutunya”[1]

Pakaian merupakan kulit sosial dan kebudayaan serta sebuah ekspresi dari identitas diri seseorang. Pakaian dapat berperan besar dalam menentukan citra seseorang melalui cara berpakaiannya. Apa dan bagaimana pakaian dikenakan bersifat dinamis dengan penyesuaian perkembangan zamannya. Diantaranya adalah batik dari Yogyakarta.

Batik gagrak[2] Yogyakarta (batik keraton) lahir dari Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan dan kesenian. Batik gagrak Yogyakarta ini tumbuh dan berkembang atas dasar falsafah kebudayaan Jawa. Hal tersebut mengacu pada nilai-nilai spiritual dan memandang manusia dalam konteks harmoni, serasi, dan seimbang.[3] Oleh karena itu, batik menjadi sebuah simbol dan dapat menunnjukkan status maupun kedudukan seseorang.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, batik dari Yogyakarta dan Surakarta sering disebut sebagai batik Vorstenlanden.[4] Batik yang banyak diproduksi adalah batik tulis dan cap. Di Kota Yogyakarta sendiri, banyak berdiri perusahaan batik oleh penduduk pribumi, Tionghoa, Eropa, dan Arab. Diusahakannya batik oleh penduduk non pribumi menyebabkan batik mengalami perkembangan terutama dalam motif dan bentuknya. 

Di abad ke-20 batik menjadi salah satu pakaian yang umum dikenakan penduduk di Kota Yogyakarta. Model pakaian lain yang berkembang masa itu adalah model pakaian bergaya orang Tionghoa dan model pakaian barat seperti rok, blus, dan lainnya. Pakaian model barat masa itu mulai banyak digunakan bahkan oleh penduduk pribumi sendiri, seperti seragam sekolah, pakaian suster, berbagai rok dan jas.

Batik yang asalnya merupakan pakaian tradisional tidak lantas tergeser begitu saja. Batik masih dapat menunjukan eksistensinya ditengah kepungan pakaian model barat. Batik yang memiliki fungsi utama sebagai sandang dapat mengikuti perkembangan seiring berkembangnya industri batik di Kota Yogyakarta.

Berkembangnya industri batik dan beragamnya pilihan produk batik memunculkan beberapa kelas sosial konsumen. Konsumen batik tulis dan batik cap apalagi cap kasar menunjukkan kelas sosial yang berbeda.[5]  Setiap orang (pribumi) yang mampu membayar akan tetap memilih kain batik tulis daripada kain batik cap, dan batik cap daripada kain warna buatan pabrik Eropa. Sejauh uang dimiliki, mahalnya harga kain batik tidak menjadi masalah.

Batik tulis di kalangan penduduk pribumi banyak datang dari golongan atas seperti para bangsawan. Proses produksi yang rumit dan membutuhkan waktu relatif lama ini membuat harga batik tulis tinggi dan hanya mampu dibeli oleh segelintir orang saja. Penduduk menengah kebawah banyak memakai kain batik cap  atau campuran (tulis dan cap) karena harganya yang terjangkau. Penduduk ini biasa membeli batik baru saat musim panen atau menyambut perayaan hari raya.

Batik yang juga diproduksi oleh penduduk Eropa, Tionghoa, dan Arab juga cukup berkembang di Kota Yogyakarta. Produk batik di perusahaan mereka memiliki corak tersendiri, dimana terdapat unsur-unsur kebudayaan mereka di dalam produknya. Batik Eropa atau disebut batik Belanda memiliki corak yang bergaya Eropa seperti bunga tulip, cerita rakyat, dan menggunakan warna cerah seperti biru dan kuning.[6] Batik Tionghoa lebih menggunakan warna-warna cerah terutama merah dan penggunaan ornamen dari Tiongkok seperti ornamen keramik dan naga.

Diproduksi dan dipakainya batik oleh penduduk non pribumi menunjukkan adanya sebuah penerimaan kebudayaan lokal oleh masyarakat luar. Produk batik yang dihasilkan oleh perusahaan batik Tionghoa dan Belanda dapat mengkombinasikan batik tradisional dengan ide-ide baru. Penuangan ide selain pada motif juga dalam bentuk produk batik. Perusahaan Eropa dapat membuat taplak meja, sprei, tas, selimut bantal, dan elemen interior lainnya.

Batik dari Kota Yogyakarta ditingkat lokal pemasarannya sudah mencapai Karesidenan Kedu, terutama oleh pejabat-pejabat lokal karena tingkat aristokrat dan estetikanya. Bersama wilayah lain dari Karesidenan Yogyakarta, batik Yogyakarta mampu menembus pasaran mancanegara. Produk batik dikenal di negara Jepang, Suriname, dan Eropa terutama Inggris dan Belanda. [7]

Dapat disimpulkan bahwa batik sebagai sandang mampu mempertahankan eksistensinya ditengah maraknya model pakaian lain di Kota Yogyakarta. selain sebagai produk ekonomi, batik Yogyakarta tetap dijadikan sandang tradisional yang syarat makna. Oleh karena itu batik Yogyakarta bersifat dinamis karena fungsinya yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.

 

[1]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 116-117.

[2]Gagrak = corak khas

[3]Mari Condronegoro, Memahami Busana Adat Keraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), hlm. 47.

[4]Vorstenlanden merupakan penyebutan daerah swapraja yang meliputi Karesidenan Yogyakarta dan Surakarta.

[5]Anton Haryono, “Dari Keraton ke Pasar Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930”, Humaniora, (vol. 21, no. 1, Februari 2009), hlm. 102.

[6]Dwi Ratna Nurhajarini, “Dinamika Batik Pekajangan 1930-1970”, Patrawidya, (vol. 3, no. 3, 2002), hlm. 47.

[7]Sudarmaji, “Batik sebagai Warisan Budaya Bangsa dan Usaha Pelestarian”, Makalah, disampaikan pada Jelajah Budaya: Mengenal, Memahami Batik dan Tenun Tradisional sebagai Warisan Budaya Bangsa, (Yogyakarta: 28 Juli – 3 Agustus 2007), hlm. 1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun