Dapat disimpulkan bahwa batik sebagai sandang mampu mempertahankan eksistensinya ditengah maraknya model pakaian lain di Kota Yogyakarta. selain sebagai produk ekonomi, batik Yogyakarta tetap dijadikan sandang tradisional yang syarat makna. Oleh karena itu batik Yogyakarta bersifat dinamis karena fungsinya yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
[1]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 116-117.
[2]Gagrak = corak khas
[3]Mari Condronegoro, Memahami Busana Adat Keraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), hlm. 47.
[4]Vorstenlanden merupakan penyebutan daerah swapraja yang meliputi Karesidenan Yogyakarta dan Surakarta.
[5]Anton Haryono, “Dari Keraton ke Pasar Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930”, Humaniora, (vol. 21, no. 1, Februari 2009), hlm. 102.
[6]Dwi Ratna Nurhajarini, “Dinamika Batik Pekajangan 1930-1970”, Patrawidya, (vol. 3, no. 3, 2002), hlm. 47.
[7]Sudarmaji, “Batik sebagai Warisan Budaya Bangsa dan Usaha Pelestarian”, Makalah, disampaikan pada Jelajah Budaya: Mengenal, Memahami Batik dan Tenun Tradisional sebagai Warisan Budaya Bangsa, (Yogyakarta: 28 Juli – 3 Agustus 2007), hlm. 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H