Mohon tunggu...
Nixxon Milawijaya
Nixxon Milawijaya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

2214495

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membina Rasa Toleransi dan Kekeluargaan dengan Ekskursi

17 November 2024   23:43 Diperbarui: 19 November 2024   22:38 2210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ekskursi 2024 Pondok Pesantren Nur El-Falah

"Kebahagiaan hidup terdiri dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang sederhana: mencintai, peduli, dan mensyukuri hal-hal yang biasa kita abaikan." -- Leo Tolstoy

Keberagaman itu seperti mozaik. Setiap keping berbeda warna dan bentuk, tetapi jika disatukan, ia menciptakan keindahan. Dalam Ekskursi 2024, keberagaman menjadi pelajaran terbesar yang saya temukan, khususnya saat kami mengunjungi Pondok Pesantren Nur El-Falah di Banten. Tempat itu mengajarkan saya bahwa hidup tak melulu soal diri sendiri, melainkan bagaimana kita saling mengisi dan memahami.

Hari itu, suasana terasa berbeda sejak kami turun dari bus. Udara segar desa menyambut, diiringi senyum ramah para santri yang menyambut kami. Pondok ini tampak sederhana---beberapa bangunan bercat putih dengan halaman luas yang dikelilingi pepohonan rindang. Namun, kesederhanaan itu justru membuatnya terasa hangat dan bersahaja.

Kami langsung diajak mengikuti rutinitas pesantren. Dimulai dengan mengaji bersama, suara para santri yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an memenuhi ruangan. Di tengah suara lantunan itu, saya memejamkan mata, membiarkan hati saya larut dalam ketenangan yang tak biasa. Dalam keheningan itu, saya menyadari sesuatu: ini adalah momen yang jarang saya alami---hati yang benar-benar damai.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk melebur bersama para santri. Dari sesi belajar kitab hingga makan bersama di lantai beralas daun pisang, semuanya dilakukan dalam kebersamaan. Kami tertawa bersama, berbagi cerita, bahkan saling membantu ketika ada teman yang kesulitan memahami materi pelajaran.

Salah satu momen paling berkesan bagi saya adalah saat berdiskusi dengan seorang santri bernama Zaki. Ia berbagi cerita tentang kehidupannya di pesantren. "Di sini kami belajar segalanya, Mas," katanya. "Bukan cuma soal agama, tapi juga soal hidup---bagaimana bersyukur, bagaimana bertahan, dan bagaimana saling mendukung."

Saat itu, saya merasa kecil. Saya yang sering mengeluh soal hal-hal sepele, seperti internet lambat atau tugas sekolah yang menumpuk, tiba-tiba merasa malu. Para santri ini, dengan segala keterbatasannya, mampu menjalani hidup dengan senyum tulus dan rasa syukur yang mendalam.

Kunjungan kami ke Pondok Pesantren Nur El-Falah seolah menjadi miniatur Indonesia. Di sana, meskipun kami datang dari latar belakang yang berbeda, rasa persatuan dan kebersamaan sangat terasa. Kami bermain sepak bola bersama, bercanda tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan, dan berbagi pengalaman hidup masing-masing.

Dalam setiap kegiatan yang kami lakukan bersama, ada semangat kebersamaan yang mengingatkan saya pada Sumpah Pemuda. Satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Itu bukan sekadar slogan, tetapi sesuatu yang benar-benar kami rasakan.

Sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur: "Agama mengajarkan tentang cinta kasih, bukan kebencian." Di pesantren ini, saya melihat bagaimana agama menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang memisahkan.

Dari kunjungan singkat itu, saya belajar bahwa keberagaman bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang perlu dirayakan. Dalam perbedaan, kita menemukan pelajaran; dalam perbedaan, kita menemukan kekuatan.

Seorang ustaz di pesantren berkata, "Ketika kita menerima keberagaman, kita belajar untuk saling menghormati. Dari situ, harmoni akan tercipta." Kalimat itu terus terngiang di kepala saya hingga sekarang. Saya merasa apa yang ia katakan begitu sederhana, tetapi juga sangat mendalam.

Ekskursi ini memberi saya pelajaran besar tentang arti syukur, persaudaraan, dan keberagaman. Dari para santri, saya belajar bahwa hidup tidak perlu sempurna untuk bisa bahagia. Dari para ustaz, saya belajar bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk berjarak, melainkan kesempatan untuk saling belajar.

Melalui perjalanan ini, saya juga memahami pentingnya perjumpaan. Tanpa perjumpaan, kita tidak akan pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Dan tanpa mengenal, kita tidak akan pernah bisa menghargai perbedaan yang ada.

Ekskursi 2024 ini bukan hanya soal tempat yang kami kunjungi, tetapi tentang pelajaran hidup yang kami temukan di setiap langkah perjalanan. Pondok Pesantren Nur El-Falah menjadi salah satu babak penting dalam perjalanan itu, mengajarkan kami bahwa keberagaman adalah anugerah, dan harmoni adalah hasil dari usaha untuk saling memahami.

Seperti kata Kahlil Gibran dalam The Prophet:
"Hidup itu bekerja bersama dalam harmoni. Dan kerja adalah cinta yang terlihat."

Harmoni yang kami temukan di pesantren ini bukanlah akhir, tetapi awal dari langkah kami untuk membawa semangat itu ke dunia yang lebih luas. Harmoni yang dibangun bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati.

Dan perjalanan ini mengajarkan saya satu hal penting: dalam keberagaman, selalu ada ruang untuk cinta dan persaudaraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun