hidup terdiri dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang sederhana: mencintai, peduli, dan mensyukuri hal-hal yang biasa kita abaikan." -- Leo Tolstoy
"KebahagiaanKeberagaman itu seperti mozaik. Setiap keping berbeda warna dan bentuk, tetapi jika disatukan, ia menciptakan keindahan. Dalam Ekskursi 2024, keberagaman menjadi pelajaran terbesar yang saya temukan, khususnya saat kami mengunjungi Pondok Pesantren Nur El-Falah di Banten. Tempat itu mengajarkan saya bahwa hidup tak melulu soal diri sendiri, melainkan bagaimana kita saling mengisi dan memahami.
Hari itu, suasana terasa berbeda sejak kami turun dari bus. Udara segar desa menyambut, diiringi senyum ramah para santri yang menyambut kami. Pondok ini tampak sederhana---beberapa bangunan bercat putih dengan halaman luas yang dikelilingi pepohonan rindang. Namun, kesederhanaan itu justru membuatnya terasa hangat dan bersahaja.
Kami langsung diajak mengikuti rutinitas pesantren. Dimulai dengan mengaji bersama, suara para santri yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an memenuhi ruangan. Di tengah suara lantunan itu, saya memejamkan mata, membiarkan hati saya larut dalam ketenangan yang tak biasa. Dalam keheningan itu, saya menyadari sesuatu: ini adalah momen yang jarang saya alami---hati yang benar-benar damai.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk melebur bersama para santri. Dari sesi belajar kitab hingga makan bersama di lantai beralas daun pisang, semuanya dilakukan dalam kebersamaan. Kami tertawa bersama, berbagi cerita, bahkan saling membantu ketika ada teman yang kesulitan memahami materi pelajaran.
Salah satu momen paling berkesan bagi saya adalah saat berdiskusi dengan seorang santri bernama Zaki. Ia berbagi cerita tentang kehidupannya di pesantren. "Di sini kami belajar segalanya, Mas," katanya. "Bukan cuma soal agama, tapi juga soal hidup---bagaimana bersyukur, bagaimana bertahan, dan bagaimana saling mendukung."
Saat itu, saya merasa kecil. Saya yang sering mengeluh soal hal-hal sepele, seperti internet lambat atau tugas sekolah yang menumpuk, tiba-tiba merasa malu. Para santri ini, dengan segala keterbatasannya, mampu menjalani hidup dengan senyum tulus dan rasa syukur yang mendalam.
Kunjungan kami ke Pondok Pesantren Nur El-Falah seolah menjadi miniatur Indonesia. Di sana, meskipun kami datang dari latar belakang yang berbeda, rasa persatuan dan kebersamaan sangat terasa. Kami bermain sepak bola bersama, bercanda tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan, dan berbagi pengalaman hidup masing-masing.
Dalam setiap kegiatan yang kami lakukan bersama, ada semangat kebersamaan yang mengingatkan saya pada Sumpah Pemuda. Satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Itu bukan sekadar slogan, tetapi sesuatu yang benar-benar kami rasakan.
Sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur: "Agama mengajarkan tentang cinta kasih, bukan kebencian." Di pesantren ini, saya melihat bagaimana agama menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang memisahkan.
Dari kunjungan singkat itu, saya belajar bahwa keberagaman bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang perlu dirayakan. Dalam perbedaan, kita menemukan pelajaran; dalam perbedaan, kita menemukan kekuatan.