Mohon tunggu...
Nita Puspitasari
Nita Puspitasari Mohon Tunggu... -

I'm a silhoutte a chasing rainbow on my own

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Novel Rindu Karya Tere Liye

18 Desember 2014   22:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:01 2148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judu : Rindu Penulis : Tere Liye Editor : Andriyati Penerbit : Republika Tebal Buku : ii + 544 hal; 13.5×20.5 cm Kota Terbit : Jakarta Tahun Terbit : 2014 Harga : Rp. 69.000 Sinopsis Buku:

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami? Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan? Apalah arti cinta, ketika menangis terluka atas perasaan yg seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yg seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun? Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja” Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan. Selamat membaca.

Sebuah perjalanan panjang dimulai di suatu pagi di penghujung tahun 1938. Tepatnya tanggal 1 Desember 1983, saat sebuah kapal besar bernama BLITAR HOLLAND merapat di Pelabuhan Makassar. Kapal tersebut nantinya akan berhenti dan menaikkan penumpang di Pelabuhan Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu Padang, Banda Aceh, dan berlayar melewati Pelabuhan Sri Lanka, Kolombo hingga akhirnya berhenti di pelabuhan terakhir yaitu Jeddah untuk mengantar para calon jamaah haji. Cerita pun bergulir, dan perjalanan besar mulai terangkai seiring hadirnya pertanyaan-pertanyaan yang dibawa oleh tokoh- tokoh dalam novel ini.

Setiap perjalanan selalu disertai pertanyaan- pertanyaan. – (hal. 222)

Pertanyaan pertama datang dari Bounda Upe, wanita menawan keturunan China yang merupakan guru mengaji anak-anak selama di atas kapal, yang ternyata menyembunyikan sesuatu dalam kotak berlabel masa lalu yang ia kunci rapat-rapat. Siapa yang mengira bahwa wanita pemalu ini dulunya adalah seorang cabo, atau pelacur. Mimpi buruk itu dimulai, saat Ibunya meninggal kemudian ayahnya yang merupakan Penjudi Kambuhan gelap mata dan tanpa sadar menjadikannya sebagai taruhan. Mimpi buruk yang sangat ingin ia lupakan, hingga akhirnya ia memutuskan pergi dari kota asalnya. Namun tiba-tiba seperti terkena sambaran petir di siang bolong, saat Blitar Holland transit di Batavia, ia yang sebelumnya sempat ragu akhirnya turut bergabung bersama rombongan untuk makan siang di sebuah kedai soto dikejutkan oleh panggilan dari seseorang.“Ling-Ling!”panggilnya. Ya, Ling-Ling adalah nama Cabo-nya. Dan demi mendengar panggilan itu, genap sudah mimpi buruknya, kotak masa lalunya terbuka tanpa ampun lagi.

“Bagaimana kalau anak-anak tahu? Bagaimana kalau Anna dan Elsa tahu guru mengajinya bekas cabo? Bagaimana kalau ada penumpang yang tahu? Apakah Allah… Apakah Allah akan menerimaku di Tanah suci? Apakah perempuan hina sepertiku berhak menginjak Tanah Suci? Atau, cambuk menghantam punggungku, lututku terhujam ke bumi…. Apakah Allah akan menerimaku? Atau mengabaikan perempuan pendosa sepertiku… Membiarkan semua kenangan itu terus menghujam kepalaku. Membuatku bermimpi buruk setiap malam. Membuatku malu bertemu dengan siapapun.” – (Hal. 309-310)

Pertanyaan kedua, terlontar dari kisah masa lalu Daeng Andipati. Dibalik semua kebahagiaan yang ia miliki, harta benda, nama baik, pendidikan, bahkan istri yang cantik dan anak-anak yang menggemaskan. Ternyata ia menyimpan kebencian tak terperi pada sosok yang seharusnya ia hormati, harusnya ia sayangi. Kelicikan, kekerasan & kemunafikan adalah garis besar dari kisah masa lalunya. Masa kecilnya ia habiskan.dalam sebuah sandiwara besar yang diperankan oleh Daeng Patoto, ayahnya sendiri. Beruntung, ia berhasil menciptakan kehidupan baru yang jauh lebih baik. Jauh… dari masa lalunya. Hanya saja, rasa benci itu terlanjur terpatri dalam aliran darahnya. Menjadi duri dalam daging, tak berhenti dan semakin pekat setiap harinya, bahkan setelah Daeng Patoto wafat. Kotak masa lalu yang dia simpan rapi seolah dibuka paksa oleh suatu peristiwa penyerangan tak terduga yang dilakukan oleh Gori Si Penjagal, mantan tukang pukul nomor satu ayahnya puluhan tahun silam yang hendak membalas dendam.

“Bagaimana mungkin aku pergi naik haji dengan membawa kebencian sebesar ini? Apakah Tanah Suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?” – (Hal. 371)

Pertanyaan ketiga, datang dari Pasangan sepuh yang tidak seperti kebanyakan. Enam puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga tak membuat sedikitpun rasa cinta dan sayang pudar diantara mereka. Saling melengkapi, menerima, menemani dan mencintai adalah janji mereka di awal pernikahan, dan janji itu tertunaikan sudah di atas kapal ini, dalam kisah ini. Mbah Putri wafat saat kapal tengah berlayar menuju Kolombo. Tak dapat dikhayalkan lagi kesedihan yang dipikul Mbah Kakung selepas kepergian Mbah Putri. Terlebih kepergian mereka ke tanah suci adalah salah satu pembuktian cinta mereka, pada Dia yang telah menghimpunkan mereka berdua dalam kisah cinta ini. Mbah Kakung dan Mbah Putri pernah berkata mereka saat ingin jika meninggal kelak kuburan mereka disandingkan. Namun Mbah Putri dimakamkan dengan prosesi yang berbeda, ditenggelamkan kedalam samudra seperti prosesi pemakaman seorang pelaut. Maka pertanyaan itupun muncul,

“Kenapa harus terjadi sekarang? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci? Kenapa harus ada di atas lautan ini? tidak bisakah ditunda barang satu – dua bulan? Atau jika tidak bisa selama itu, bisakah ditunda hingga kami sampai ke tanah suci, sempat bergandengan tangan melihat Masjidil Haram. Kenapa harus sekarang?”. – (Hal. 469)

Pertanyaan keempat, muncul dari salah seorang kelasi kapal Blitar Holland yang direkrut saat berlabuh di Pelabuhan Makassar. Sebelumnya ia adalah seorang juru kemudi kapal Phinisi, ia rela meninggalkan karirnya dan beralih peran hanya menjadi seorang kelasi dapur demi bisa ikut serta bersama Kapal Blitar Holland pergi jauh, sejauh ia mampu, meninggalkan kenangan dan kenyataan pahit yang ia alami, yaitu ‘patah hati’. Dalam kisahnya tak satu-pun ia melontarkan pertanyaan, tapi justru dalam kisah itu lah pertanyaan besar bermuara.

“Apakah itu cinta sejati? Apakah besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah aku masih memiliki kesempatan?” (Hal. 491)

Tersebutlah Ahmad Karaeng, tokoh paling bijak dan dihormati dalam pelayaran ini. Seorang ulama masyhur dari tanah Makassar yang kerap disapa sebagai Gurutta. Dengan kebijaksanaannya ia menjawab empat pertanyaan diatas dengan sangat lugas namun cermat. Petuahnya bagaiakan oase di padang tandus, menyejukkan, bijak dan sangat open minded. Namun, meskipun beliau Ulama besar yang selalu bisa menjawab setiap pertanyaan orang – orang namun ternyata beliau sendiri mempunyai pertanyaan besar dalam hidupnya yang tidak bisa beliau jawab sendiri. Beliaulah sang empunya pertanyaan kelima sekaligus terakhir dalam kisah ini.

Gurutta menulis buku tentang kemerdekaan, tapi beliau sendiri tidak pernah berani melakukannya secara kongkret. Yang beliau lakukan selalu lari dari pertempuran dengan dalih ada jalan keluar lebih baik tanpa kekerasan. Ia pengecut, Ia selalu lari, tidak sedetik pun dia hadir dalam pertempuran melawan penjajah. Kejadian besar di kapal saat kapal dikuasai m perompak, seorang kelasi kapal berhasil mencungkil penjelasan tersebut.

Novel ‘Rindu’ karya Tere Liye ini memiliki cover yang sederhana namun terlihat manis dan romantis. Awalnya aku mengira, novel ini akan menceritakan tentang kisah cinta yang mengharu biru seperti novel Tere Liye sebelumnya; Sunset bersama Rosie atau Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Akan tetapi, aku salah. Novel ini lebih menceritakan tentang sebuah kerinduan yang disampaikan tersirat oleh penulis. Kerinduan yang dituangkan dalam perjalanan berbulan-bulan menggunakan kapal dalam rangka menunaikan ibadah m haji. Dan juga kerinduan akan jawaban atas segala kisah yang mereka simpan dalam kotak-kotak masa lalu dengan berbagai label; kebencian, dendam, kerinduan, cinta, dan harapan.

Aku yakin, Tere Liye sebagai penulis novel tersebut tidak asal menulis tanggal dan mengarang tempat kejadian. Dia pasti sudah membaca banyak literature sebelum menulis novel ini. Seperti novel-novel Tere Liye sebelumnya, novel ‘Rindu’ ini tidak dilengkapi dengan kata persembahan, ucapan terima kasih, bahkan tidak ada Daftar Isi. Judul masing-masing hanya ditulis Satu, Dua, Tiga … hingga Lima Puluh Satu dan berujung pada Epilog. Dan seperti biasa, Tere Liye dalam novel-novel karangannya tidak pernah mencantumkan Profil Penulis.

Novel ‘Rindu’ ini adalah novel ke 11 yang diterbitkan oleh Tere Liye dan juga merupakan novel paling tebal dibanding ke-sepuluh lainnya. Mungkin memang terasa ada kejenuhan saat membaca novel itu karena rutinitas di atas kapal yang itu-itu saja, tapi Tere Liye dengan sentuhannya berhasil menghilangkan kejenuhan. Seperti penyerangan Gori si Penjagal, Kelucuan Anna, Elsa, dan Mbah Kakung, Dipenjaranya Gurutta, maupun penyerangan dari Perompak Somalia, dan juga jalan cerita nya yang menimbulkan pernyataan sehingga pembaca penasaran untuk mengetahui jawabannya. Bagaimanapun, Tere Liye selalu berhasil memikat pembaca melalui tulisan-tulisannya, termasuk melalui novel ini. (Cempaka Putih)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun