Siapa aku? Aku tidak dapat memberikan bantuan apapun selain mendengarkannya dan memberikan kalimat; "lebih bangga, Anda, Bu, semua yang Anda beli berasal dari jerih payah Anda sendiri, yang menandakan Anda lebih mampu."
Kemudian beberapa tetangga yang lain berkeluh kesah mengenai usahanya yang 'ditutup' orang sehingga harus membayar hutang karena bangkrut, sekali lagi Aku hanya mampu mendengarkan mereka sambil terus memberikan motivasi bahwa mereka pasti membalik keadaan dan usahanya bertambah baik.
....
Andana meletakkan sebentar buku yang dipegangnya. Dia berjalan sebentar menutup jendela ruangan. Andana memandangi foto dalam pigura yang tergantung di dinding. Dipandanginya penuh foto itu. Sosok yang mengagumkan. Sang penulis buku.
Buku yang ditulis dengan tulisan tangan yang sangat rapi. Penulis berhati. Andana melanjutkan kembali membaca buku tersebut.
....
Aku tidak menghakimi, tidak pernah. Hanya terkadang berpikir, orang yang punya kekuasaan tentu lebih mudah membantu mereka-mereka yang dalam kesulitan. Akses membantunya pasti lebih luas. Mungkin perlu menambah bijaksana dan berani. Mungkin mereka hanya tidak mampu melawan sistem yang sudah sangat kuat mendarah daging, sehingga ketika sistem itu dilawan sendiri justru akan menjadi aksi jibaku belaka.
Harapan pasti akan selalu ada. Nusantara yang besar ini tentu banyak dicinta. Melakukan bagian kita terus. Hanya itu. Sejahtera nusantaraku.Â
....
Andana menutup buku itu. Masih banyak lembar yang ingin dibacanya. Sekilas dia menatap koran yang terletak di depan meja mahoni itu. Koran yang baru dibelinya pagi tadi. Membaca kolom obituari di sana, RIP dr. Anka Satria, kakaknya.
Seorang dokter umum sekaligus seorang kakak buat Andana. Beberapa minggu lalu Anka Satria pulang dari tugasnya di Papua. Dan cuti untuk melakukan pengobatan di Jakarta.