Beragam tanggapan masyarakat atas kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Salah satunya adalah "No Buy Challenge 2025" yang sedang trend.
Di satu sisi gerakan ini ingin mengedukasi masyarakat untuk mengubah gaya hidup. Gaya hidup yang lebih menekankan pada kebutuhan bukan pada keinginan. Esensi bukan gengsi.
Tentu baik jika kata kuncinya adalah mengubah gaya hidup untuk sesuatu yang lebih esensial bukan demi yang non-esensi, "No Buy Challenge 2025" bisa mengubah gaya hidup untuk meningkatkan kesejahteraan.
Selaras dengan gaya hidup frugal dan minimalis yang banyak didengungkan, "No Buy Challenge 2025" bisa menjadi sebuah gerakan baik.
Namun demikian, perlu dicermati juga, jika hal ini hanya sekadar gerakan yang diusung atas dasar ikutan trend saja, atau untuk mendapatkan validasi orang lain, maka hal ini tentu akan percuma.
Kita sudah sering mendengar tentang istilah FOMO (Fear of Missing Out) dan juga sekarang ada istilah FOPO (Fear of Other People's Opinions). Sebuah kondisi fenomena psikologis pada seseorang yang khawatir akan 'ketinggalan trend' dan atau takut pada penilaian orang lain terhadap dirinya.Â
Gerakan "No Buy Challenge 2025" ini, untuk orang yang memiliki kekhawatiran semacam itu, tentu tidak akan bisa bertahan lama karena stimulus perilakunya datang dari luar diri.
Yang dikhawatirkan jika gerakan semacam ini dilakukan bukan dengan kesadaran dari dalam, yang ada akan menimbulkan permasalahan baru. Depresi, insecure, dan sebagainya.
Menumbuhkan ruang 'sadar' membutuhkan proses yang gak sebentar. Apalagi, jika hidup di tengah masyarakat komunal yang memiliki pandangan dunia materi adalah segalanya. Materi adalah definisi dari sebuah kesuksesan hidup.
Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul "Change", mengatakan bahwa karakteristik perubahan itu terjadi setiap saat. Perubahan harus diciptakan setiap saat pula, bukan sekali-sekali.
Demikian juga dengan trend "No Buy Challenge 2025". Haruslah lahir dari kesadaran diri penuh dan juga dilakukan terus-menerus hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru yang mengubah.
Mengubah paradigma berpikir tidak mudah, ini perlu proses juga. Momentum ini menjadi sebuah awalan yang baik untuk terus mengevaluasi diri.
Carol S Dweck dalam bukunya juga yang berjudul "Mindset", menuliskan konsep berpikir tumbuh & pengendalian diri atas perubahan menjadi kunci utama untuk mengubah paradigma berpikir.Â
Mengubah gaya hidup membutuhkan strategi dan perencanaan (bukan hanya sekadar ikutan trend), kemudian diikuti oleh pengendalian diri atas keinginan.Â
Otonomi menjadi sebuah hal penting. Meminimalisir keinginan untuk sama dengan yang lain (realistis), mengukur kemampuan. Tidak takut dianggap berbeda karena kenyataannya memang belum mampu. Indikator-indikator ini menjadi sebuah rambu-rambu untuk bisa memutuskan strategi seputar finansial kita di tahun baru ini.
Memang tidak mudah, apalagi jika sesuatu yang orang lain anggap sebagai barang mewah tetapi buat diri kita adalah sesuatu yang dibutuhkan atau sebaliknya.
Menelisik dan terus memahami mana keinginan dan kebutuhan atau mana yang penting dan tidak menjadi sebuah tolok ukur penting dalam merencanakan keuangan kita.
"No Buy Challenge 2025" semoga bisa menjadi gerakan yang berkelanjutan (bukan hanya untuk masyarakat pada umumnya tetapi juga pejabat elit yang telah terbiasa menikmati kemewahan, mereka harus menjadi contoh!) di tahun-tahun berikutnya.
Selamat Tahun Baru 2025
Referensi : satu
Kasali, R. 2005. Change - Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan. Gramedia. Jakarta
Dweck, C. 2006. Mindset - Mengubah Pola Berpikir untuk Perubahan Besar dalam Hidup Anda. Bentara Aksara Cahaya. Tangerang Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H