Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

[Rasa Mentari 11] Menerbitkan Rasa

2 Januari 2024   10:34 Diperbarui: 6 Januari 2024   09:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi / Pexels (Julia Volks)

Sosok wanita ayu berusia kisaran 4o tahun an itu selalu menutupi semua hal dengan keceriaan dan kecakapannya di dunia kerja, dunia profesi yang dijadikan pelampiasan dan pelariannya dari sebuah hal yang ingin ditutupinya. Perkenalan dengan Ganesha memberikan sebuah pengalaman batin yang berbeda, sebuah rasa yang berbeda. Walaupun memang belum jelas rasa apa itu.

Suasana hati dan jiwa Mentari begitu berbeda. Wajah Ibu Rahutami juga sangat ceria, berbeda dari biasanya. Pertemuan hari itu menjadi pembuka batin bagi keempat orang yang berada di kamar bercat krem, kamar Cahaya Senja Mentari Dharmawan.

Mentari yang beberapa saat terkenal dingin, judes binti jutek, tidak pernah terlihat sisi wanitanya. Ego menjadi pemimpin hidupnya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya berdasarkan kesongongan diri. Menuntut diri lebih dan membuatnya menjadi sosok yang keras tak terkalahkan apalagi dalam memandang laki-laki.

Apakah benar trauma dan luka-luka itu telah diusirnya pergi? Apakah memang valid bahwa Ganesha yang datang tanpa sengaja, tidak terduga, dan di waktu yang tepat itu berhasil memberikan 'pembebasan'?

Ah rasanya itu semua tidak lagi menjadi penting. Trauma dan luka itu memang selayaknya harus diputuskan untuk selesai, tidak untuk terus dihayati apalagi dipelihara serta dirawat. Yang terpenting, Mentari berani untuk memutuskan, setidaknyamemilih untuk  menerima semua rasa yang wajar dirasakan dalam hidup, bukan menolaknya.

Di sisi lain, Mentari memilih sebuah pilihan untuk tidak terbelenggu dalam luka dan trauma terus-menerus. Memilih hidup yang tidak terkungkung dalam belenggu masa lalu. Cinta dari orang-orang yang berada di sekelilingnya membawa pada pengenalan hidup yang hakiki. Kesempatan dari Pencipta yang diberikan tentu tidak boleh disia-siakan, menghidupi hidup dengan memaknai lebih dalam serta mensyukurinya.

Mata Mentari memandangi satu per satu, wajah-wajah yang penuh dengan sukacita, walau ada rasa nyeri secara fisik akibat kecerobohannya di Bantir, itu tidak lagi menjadi fokusnya. Rona-rona bahagia dan pancaran rasa sukacita yang terlihat dari wajah ketiga orang yang hadir dalam hidup Mentari itu sudah menyita hampir semua fokusnya, melupakan rasa sakit fisik yang sedang dialaminya, sejenak. Tak disangkal, yo mesti sakitlah, beradu dengan koral dan batu saat di Bantir tadi.

Matahari sudah mulai terbenam, Mbok Tirah terlihat telah menyalakan beberapa lampu di beberapa ruangan. Ibu Rahutami mengajak Ganesha untuk makan bersama. Ganesha membantu Mentari untuk duduk di kursi roda yang dibawa dari Bantir untuk mengantarnya ke meja makan.

Mbok TIrah setelah usai menyalakan lampu di bagian samping ruang makan, mengambil beberapa serbet makan dari dalam lemari dapur dan meletakkan di meja makan.

Ada sepasang mata yang mengamati rumah Ibu Rahutami dari luar. Mata itu, begitu dikenal baik di keluarga Dharmawan beberapa waktu lalu. Sosok yang pernah akrab dengan salah satu anggota keluarga ini. Dia memandang dari dalam mobil yang mesinnya belum dimatikan, sekitar tiga hingga 5 menit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun