proses terapeutik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bagi orangtua, guru, maupun terapis bukanlah sebuah proses yang mudah.Â
Melakukan pendampingan terhadapBanyak cerita suka maupun duka yang semuanya menjadi bumbu penyerta dalam proses tersebut.
Diakui atau tidak, pendampingan terhadap proses belajar dan terapeutik pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menguras banyak sekali energi. Kelelahan mental sering terjadi baik pada orangtua, guru, terapis, shadow teacher (guru bantu), dan pihak yang terlibat aktif di dalamnya.
Burn out, itulah kondisi yang tentu bisa kita rasakan. Situasi yang tidak nyaman kita rasakan. Terjadi kelelahan mental, merasa gagal, stress karena materi yang dipelajari tidak kunjung berhasil, dan sebagainya.
Bukan hal yang mudah memang. Kesaksian banyak orangtua, guru, terapis, dan pendamping meneguhkan. Tak jarang air mata, kejengkelan, kemarahan, kecewa, dan sejumlah state emosi lain menyertai.
Tentu saja orang-orang yang terlibat aktif dalam proses pendampingan ABK, memiliki harapan positif dalam hal target-target pencapaian proses terapeutik. Sangat manusiawi, bukan? Namun demikian, seringkali realita yang terjadi tidak sejalan dengan ekspektasi kita.
Bukan kemajuan terapi, bukan perkembangan hasil belajar, tetapi sebaliknya, kondisi stagnan, bahkan kemunduran yang dialami ABK kita. Tentu hal ini cenderung akan memudahkan kita menjadi kecewa, marah, jengkel, dan banyak ketidakberdayaan yang bisa berujung stress, depresi, dan sebagainya.
Bisa dibayangkan bagaimana tidak mnguras energi untuk kondisi-kondisi semacam ini. Maka penting sekali bagi kita para pendamping ABK memiliki keterampilan manajemen emosi, sehingga tetap bisa survive dalam mendamping mereka.
Rasanya bukan sebuah pilihan untuk survive atau tidak, melainkan sebuah kemutlakan. Siapa lagi yang akan melakukan proses pendampingan tersebut jika bukan kita?
Apa saja yang bisa kita lakukan untuk menjaga kewarasan kita, supaya proses pendampingan pada anak-anak kita tersebut bisa kita lalui dengan lebih damai?
1. Menghargai proses yang terjadi
Tidak membuat target-target yang tidak rasional. Tetap bertumpu pada kondisi riil tetapi terus berupaya. Sepanjang kita telah berusaha maksimal, jangan pernah merasa bersalah dengan tiap kegagalan yang terjadi. Kita harus ingatkan diri kita, bahwa proses terus berjalan. Hargai proses yang terjadi, sekecil apapun itu.
2. Apresiasi perkembangan sekecil apapun itu
Memberikan reward kepada kita sebagai pendamping, baik itu orangtua, guru bantu, terapis menjadi sangat penting. Hal ini menjadi penyemangat bagi kita. Ini salah satu usaha kita mengundang energi baik, sehingga tetap semangat.
3. Relaksasi itu juga penting
Memberi jarak juga bisa menarik hal baik pada kita dan proses itu sendiri. Memberi waktu jeda, beristirahat sejenak juga menjadi penting. Ingatkan pada diri sendiri, bahwa kita pun butuh istirahat.Â
Cari hal-hal yang menyenangkan, entah berlibur, melakukan hobi, menyenangkan diri, memberikan waktu yang berkualitas untuk diri sendiri, menjadi sebuah faktor penting untuk memulihkan energi kita kembali.
4. Tetap realistis pada kondisi ABK
Terkadang kita mengundang banyak harapan-harapan besar terhadap proses pendampingan dan terapeutik ABK, sehingga seringkali yang terjadi adalah, kita melampaui batas-batas realita yang ada.Â
Hal ini menjadi salah satu sumber kelelahan mental kita sebagai pendamping. Bukan menyerah pada kondisi, tetapi saat kita telah maksimal memberikan upaya bagi mereka, menyerahkan hasil pada Tuhan juga akan menyelamatkan kondisi mental kita. Menerima setiap kondisi yang terjadi akan memudahkan kita.
Empat hal ini menjadi kunci penting agar kesehatan mental kita bisa tetap terjaga.Â
Mendampingi ABK berpotensi besar dalam menciptakan burn out, dan kita harus mengupayakan sedemikian rupa untuk tidak terlarut terlalu lama di dalamnya. Sadar kesehatan jiwa kita, menjadi sebuah hal yang penting dalam pendampingan bagi ABK.
Kita juga memiliki tanggung jawab memberikan dan menyuplai hal baik pada diri kita sendiri, agar energi-energi baik saja yang tetap tinggal dalam diri kita, karena the show must go on!Â
Sekali lagi kondisi mental kita bergantung pada keputusan kita sendiri dalam menjaganya. Tetap yakin dan sadar pada diri sendiri serta tetap mampu menghargai proses sebagai bagian dari perkembangan itu sendiri. Melibatkan Sang Pencipta sebagai pemegang kedaulatan tertinggi juga memberi kekuatan.
Kesehatan mental kita juga tanggung jawab kita!
Terima kasih dan tetap semangat untuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H