Rasa syukur itu mengarahkan jalan untuk bertemu mereka
Kala itu, seorang pewawancara seleksi pendeta dari BPMH (Badan Pengurus Majelis Harian) menanyakan pada diri saya, mengenai hal apa yang paling berkesan dari orangtua sepanjang hidup Anda.
Saya menjawab, "....hiduplah dengan bersyukur.."
Rasa-rasanya petuah itu nyaris berjarak dalam hidup. Terbukti banyak sekali kesempatan syukur itu terlewatkan untuk dirayakan. Mulut ini kerap kali mengeluh atas apa yang terjadi. Wajah ini lebih sering menampilkan kemuraman ketimbang sukacita dan gairah hidup.
Senyum lebih sering ditahan ketimbang dibebaskan. Nyinyir menjadi bagian dari hidup yang paling akrab, teman yang sangat asyik. Gibah menjadi sebuah gaya hidup (gak gibah gak rame), merasa diri paling the best! Pokoknya, kalo ada kompetisi hidup berantakan, saya juaranya.
Meradang jika orang mengatakan hal buruk tentang diri saya. Tidak mau mengalah dan merasa jumawa atas semua pencapaian diri yang nyatanya nol besar juga sebenarnya. Rasa-rasanya memang tidak pantas dan belum akan pantas menyandang gelar manusia dengan kebajikan.
Kesombongan menjadi sebuah identitas diri. Merasa layak dan pantas menempati posisi terdepan padahal nol pencapaian. Hidup hanya dalam impian belaka. Mengecewakan orang lain juga menjadi bagian dari diri. Tidak pernah puas, selalu merasa kurang. Banyak deh kalo mau disebutin.
Manusia dengan kebajikan, apakah itu? Sebuah formula hidup yang ideal, filosofi hidup berat yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di atas puncak gunung. Jauh dari kenyataan hidup sebenarnya, "yang kuat yang menang." Hukum rimba dalam dunia fana yang nyata.
Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati
Roda dan hidup berputar. Dunia serasa bermain-main. Pencipta bisa ngajakin becanda.
Orang yang paling saya kasihi meninggalkan saya untuk selama-lamanya, orang yang mengajarkan hiduplah dengan rasa syukur itu harus pulang ke keabadian.
Pelan tapi pasti, hal ini semakin mengarahkan hidup ke tagline beliau, hiduplah penuh dengan rasa syukur!
Mendadak sadar, bahwa akar kepahitan menjadi sebuah permulaan dari hal-hal yang bertentangan dengan kebajikan itu sendiri. Darimana harus mengawali kebajikan itu?
DIRI SENDIRI!
Saya seperti tertampar, tergampar, tertabok seketika. Saya tidak pernah mengasihi, mencintai diri saya! Bagaimana mungkin bisa mengasihi orang lain tetapi tidak mampu mengasihi diri sendiri. Sebuah perenungan panjang yang dalam.
Cinta selalu akan menemukan jalannya. Ingin menghidupi tagline 'beliau'^.^.
Hidupmu singkat bagaikan kembang, sebuah kalimat yang saya ingat dari sebuah buku kidung pujian yang berjudul Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB), buku pujian wajib.
Mulai berbenah, sebelum waktunya tiba. Jadi teringat bukunya Pak Julianto Simanjuntak, Hidup Berguna Mati Bahagia.
Perubahan itu pasti & harus dimulai dari diri sendiri.
Kehidupan yang jauh berbeda saya temukan di dalam diri anak-anak berkebutuhan khusus. Wajah-wajah lugu dan tulus. Keceriaan yang tanpa pemanis buatan layaknya sakarin, selalu tersaji.
Iri dan dengki rasanya gak ada dalam kamus hidup mereka. Mereka ada dimana-mana. Saat menjadi seorang guru pembimbing, sebuah kenyataan bahwa diri saya lebih meletakkan hati pada siswa-siswi yang unpopular, ditinggalkan teman-temannya karena dianggap aneh.
Memberi dukungan pada mereka menjadi sebuah kemutlakan. Siswa dan siswi yang pintar, rajin, cerdas, cantik, ganteng, sudah menjadi magnet bagi banyak orang untuk didekati. Wajar alias lumrah dan biasa aja.
Saat melihat kenyataan bahwa ada lho yang masih bisa tersenyum ketika kondisinya gak memungkinkan untuk tersenyum. Senyum yang tulus, ah senangnya melihat wajah-wajah itu.
Kadang tidak sadar air mata ini menetes. Hidup mereka koq asyik banget. Kebaikan adalah harga mutlak. Teringat salah seorang pengurus Special Olympic Indonesia (SOIna), "...anak-anak itu tidak memiliki rasa dengki dan iri hati, hidupnya penuh dengan rasa cinta"
Saat berinteraksi dengan mereka menjadi sebuah kekuatan yang terus menggema kuat untuk mengatakan terus bersyukur atas hidupmu dan miliki rasa cukup. Hidup yang dipenuhi rasa cinta sejati. Keyakinan yang ada di dalam mereka ingin mengatakan, bahwa cinta akan selalu menemukan jalannya!
Akhirnya perubahan itu pasti terjadi dan hal itu harus dimulai dari diri sendiri. Rasa syukur mengarahkan untuk bertemu mereka. Tema besarnya adalah hidup dengan dan penuh cinta.
Mereka mengajarkan arti kebajikan yang terus-menerus. Hidupi rasa syukur itu dengan melakukan kebajikan dan menjadi jawaban atas harapan orang lain.
Semesta akan selalu mendukung upaya-upaya cinta kasih bagi sesama. Cinta pasti akan menemukan jalannya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI