"Saya tidak tega, Bu Nita, takut anaknya menangis. Jika sudah menangis susah brentinya."
"Yang penting diam, Bu Nita, akhirnya saya berikan apa saja yang dia mau."
"Saya mengikuti keinginan anak sampai-sampai, pukul setengah dua dini hari pun saya bisa ajak dia muter-muter keliling kampung pake motor supaya dia diam dan tidak menangis lagi."
Pengalaman-pengalaman nyata di atas saya dapati di lapangan ketika melakukan layanan pendampingan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus).Â
Curhatan ringan hingga berat bertebaran sepanjang saya mendampingi beberapa orangtua di daerah layanan kala itu.
Saya sadari betul betapa tidak mudah menjadi orangtua. Begitu banyak bekal ilmu 'hayat' yang harus dimiliki secara mumpuni, untuk menjadi orangtua yang baik ( yang sampai saat ini tidak ada sekolahnya juga 🙂)
Satu cerita dari seorang kawan melengkapi pemahaman bahwa ketegasan versus tidak tega seringkali menjadi sebuah polemik besar dalam pola asuh pendidikan anak di rumah.
Melihat perilaku anak di depan mata yang membuat kita tidak tega akhirnya membawa pada sebuah keputusan yang kurang tepat dalam mekanisme penanganan perilaku anak.
Ada beberapa kasus anak yang sedang saya tangani  bisa diselesaikan dikarenakan masalah-masalah pola pengasuhan yang kemudian dapat dientaskan.Â
Pola asuh permisif menjadi sebuah candu yang akhirnya menjadi badai perusak bangunan kepribadian anak (walau pola asuh yang sebaliknya, otoriter pun, tak dapat juga dibenarkan)
Tantrum menjadi sebuah alat manipulatif yang manjur untuk mengendalikan perilaku orangtua dan orang-orang di sekeliling anak. Anak belajar pola-pola perilaku yang muncul atas respon di lingkungannya karena tindakan tantrum ini. Sebuah mekanisme untuk melakukan manipulasi.
Sepasang suami istri menceritakan bahwa betapa repotnya mengendalikan perilaku anaknya saat ini, karena budaya permisif yang selalu dikembangkan di lingkungan anak tinggal.
Orangtua menuturkan bahwa sejak kecil anak sudah menjadi 'raja' dimana segala keinginannya serba dituruti dengan harapan anak tidak rewel, anak tidak ngamuk, ga ngambeg dan lain sebagainya (yang tentu saja terkadang lepas dari kaidah pendidikan sejati).
Contoh nyata, pembiasaan memberikan makanan-makanan manis dan berkalori tinggi secara terus-menerus akhirnya membawa beberapa dampak yang kurang baik pada anak tersebut.
Mereka berdua bersaksi betapa rempongnya saat itu, ketika si anak merengek minta snack kaya gula & kurang sehat, yang kemudian jika keinginannya tidak dituruti pasti akan ngamuk dan mengeluarkan tanduk alias tantrum.
Saat situasi ini berlangsung, orangtua berhasil dikendalikan oleh anak dan jika perilaku ini tidak 'digunting' dengan segera maka perilaku ini akan menetap. Jika perilaku telah menetap cenderung lebih sulit untuk memberikan intervensi modifikasi perilaku terhadapnya.
Berikut ini beberapa alasan kenapa sih perilaku tidak tega tersebut perlu dipikirkan ulanģ:
1. Anak tidak akan ada bersama orangtua selamanya, sehingga perlu melatih kemandirian mereka sejak awal. Bila perilaku tidak tega ini akan menggiring anak pada situasi manja yang menetap, tentu secepatnya perlu direvisi.
2. Hidup tidak melulu berkutat dengan kesenangan, memberi latihan-latihan terhadap kenyataan hidup yang sebenarnya memudahkan anak untuk survive di tengah dunia nyata.
3. Mendisiplinkan perilaku sejak kecil akan membantu anak untuk bisa adaptif terhadap siklus hidup yang tidak menentu, sehingga mereka lebih dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada.
Mengubah perilaku tidak tega orangtua atau pihak yang lebih dewasa tentu tidak akan semudah membalik telapak tangan. Akan banyak sekali pengalaman-pengalaman yang belum tentu searah. Namun demikian memberikan pendidikan yang semestinya pada anak harus menjadi sebuah pemikiran yang serius, bukan? Toh, hidup mereka, anak-anak kita, tidak akan berjalan mundur melainkan akan bergerak maju.
Memberikan perhatian tentu tidak salah, tetapi kita sebagai orangtua tentu perlu bijak dalam menyikapi. Ada hal-hal yang perlu penegasan untuk menghindari perilaku dependensi yang berlebihan, sehingga nantinya mereka tidak akan selalu bergantung pada pihak lain.
Melatih anak-anak kita untuk mandiri sejak dini akan membuat mereka dapat menjejakkan langkah kakinya dengan kuat di kehidupan nyata. Sehingga mereka mampu mengarungi roda kehidupan yang tidak pasti ini dengan baik.
"Memberi latihan-latihan kehidupan sejak dini akan memampukan mereka, anak-anak kita hidup dengan mandiri."
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H