Pendidikan dari waktu ke waktu menemukan pola-pola yang baru. Banyak dinamika yang memang terjadi dalam kehidupan dari waktu ke waktu.
Pendidikan yang kemudian mengejawantah dalam diri sekolah formal, dulu menjadi satu-satunya tujuan orangtua untuk membekali masa depan anak-anaknya.
Kini memang dinamika lain banyak bermunculan. Memang tidak ada konsep pendidikan yang paling benar dan sempurna. Ada banyak juga hal di lapangan yang tidak ideal yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan kebaruan dan akhirnya bermuara pada gagasan baru yang lebih inovati di dalam dunia pendidikan.
Hari-hari ini banyak bermunculan sekolah-sekolah non formal yang memiliki konsep pendidikan berbasis komunitas. Pendiri dan pegiat pendidikan berbasis komunitas ini menangkap sejumlah keresahan-keresahan yang muncul serta dirasakan orangtua akan esensi pendidikan yang sesungguhnya.
Di tahun 2005-2006 saya ingat betul, mulai berdiskusi dengan seorang kawan di Sidokepung-Sidoarjo, Jawa Timur bernama Pratiwi Anjarsari yang saat ini bekerja di Universitas Petra, Surabaya. Jawa Timur mengenai gagasan-gagasan baru model pendidikan yang berbasis komunitas ini.
Saat itu dia meminjamkan sebuah buku yang berisi kesaksian sekolah dengan konsep ideal yang kami kerap diskusikan. Sekolah itu berada di Kota Yogyakarta. Sekolah Dasar Eksperimental Mangunan. Senada dengan itu, Sanggar Anak Alam bentukan Ibu Wahyaningsih dan suaminya, juga mengusung konsep pendidikan yang core-nya kurang lebih mirip, berbasis komunitas.
Saya dan beberapa kawan di komunitas menangkap sejumlah fenomena yang sama juga terhadap orangtua-orangtua Anak Berkebutuhan Khusus yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam hal pendidikan.
Pendidikan yang tidak rasis, pendidikan yang mengakomodir kebutuhan inidvidu, pendidikan yang memerdekakan dan bukan mengekang, pendidikan yang bukan hanya sekadar tradisi menjadi sebuah impian beberapa kawan pendidik, orangtua, dan beberapa pelayan masyarakat di pemerintahan yang memiliki hati besar untuk isu-isu pendidikan semacam ini.
Berawal dari hal ini, layanan pendampingan ABK lahir di daerah Ringinsari-Desa Sampetan, Kecamatan Gladagsari.
Penggagas kegiatan ini bernama Ibu Yulis Haryani dan Ibu Haryati Sungkawaningsih yang biasa kami sapa Ibu Anik. Beliau dan Kepala Sekolah Dasar Negeri Ringinsari, Bapak Sugito menghubungi saya dan beberapa kawan komunitas HomeOfPsychE (HOPE) untuk menggagas layanan pendidikan untuk mereka yang memiliki akses terbatas.
Gayung bersambut, unit-unit pendidikan yang mengalami kesulitan menangani ABK bersinergi untuk membuka hati mereka terhadap layanan ini.
Bukan hal mudah untuk mewujudkan layanan ini. Sangat tidak mungkin memaksakan untuk orang yang tidak mau peduli untuk terlibat dengan layanan ini.
Perjuangan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Air mata, kelelahan menghadapi stigma, perjuangan untuk memberdayakan para orangtua, pendidik selalu ada. Jika tidak ada perjuangan, tentu layanan ini tidak akan teruji kemurniannya, akan mudah goyah dan tumbang. Memurnikan setiap waktu menjadi sebuah kemutlakan sehingga layanan ini akan tumbuh tanpa kepentingan-kepentingan pribadi yang akan merusak.
Cinta akan selalu menemukan jalannya. Layanan ini mendapat dukungan penuh dari pihak desa setempat. Kepala Desa Sampetan, Bapak Kadar Wardoyo menerima layanan ini dengan sepenuh hati bahkan akan mendukung dengan penuh. Beliau menegaskan, bahwa untuk sebuah misi kemanusiaan, beliau akan memberi support dan berjuang.
Layanan ini lambat laun mendapat dukungan dari banyak pihak. Tentu saja layanan pendampingan ABK ini masih membutuhkan pengembangan-pengembangan yang cukup banyak. Tetapi geliatnya sudah mulai bisa dirasakan, setidaknya oleh masyarakat desa sekitar.
Ibu Ajeng Ayu Widiastuti menjadi salah satu kepanjangan tangan Tuhan untuk layanan kami ini. Beliau adalah Dosen Fakultas Pendidikan Guru Paud di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Melalui program Pengabdian Masyarakat beliau mendukung gerakan ini.
Setiap Kamis, layanan ini diselenggarakan. Ada program one on one therapy untuk anak-anak ini. Materi layanan pendampingan disusun dengan acuan program pembelajaran individual. Materi layanan pendampingan juga harus dikuasai oleh orangtua sehingga orangtua bisa mengulangi materi di rumah setelah usai pendampingan dan dilaporkan seminggu sekali sehingga perkembangan bisa terukur.
Mengapa orangtua harus terlibat? Karena mereka yang akan bersama anak-anak ini. Mereka yang harus mendampingi anak-anak ini. Mereka harus hadir dan bertangungjawab pada anak-anak mereka juga. Selain itu tentu kerjasama sekolah dan terapis menjadi mutlak.
Ada layanan literasi melalui perpustakaan yang digagas oleh Komunitas Hope dan Komunitas Penulis Inspirasiana - Kompasiana. Walaupun masih embrio tetapi dengan semangat dan ketekunan menyebarkan 'virus' membaca di kalangan anak-anak hingga dewasa, niscaya embrio ini akan tumbuh besar dan sehat.
Kembali lagi, bahwa semua layanan ini dikembalikan sepenuhnya untuk kemajuan anak-anak tersebut. Desa yang ramah anak, menjadi impian. Masa depan mereka juga tanggung jawab kita bersama. Empati dan kepedulian menjadi oase bagi anak-anak itu.
Cinta akan selalu menemukan jalannya, semoga..
Semangaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H