Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 - People Choice Kompasiana Awards 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mungkinkah Cegah Sexual Addict di Tengah Derasnya Gempuran Dunia Digital Saat Ini?

24 Maret 2022   05:30 Diperbarui: 8 Juni 2022   23:00 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sexual addict merupakan sebuah pola tingkah laku yang maladaptive, di mana seorang individu mengalami ketidakmampuan (ketidakberdayaan) dalam mengendalikan perilaku seksualnya.

Dalam kurun waktu dua tahun belakangan, memang saya pribadi sering berhubungan dengan rekan-rekan yang mengeluhkan akan hal ini. Bukan bermaksud menyalahkan pandemi juga, hanya saja ada data yang seirama dengan pernyataan tersebut, di mana sebanyak 22% anak melihat tayangan tidak sopan, bermuatan pornografi. 

Hal ini ditegaskan oleh Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Susanto. Pandemi mengarahkan hampir semua lini kehidupan pada kelekatan akan alam digital.

Hidup dalam dunia digital menjadi sebuah lifestyle baru. Yang jauh terasa dekat dan sebaliknya yang dekat terasa jauh. Dunia semakin terasa datar tanpa sekat, hampir tanpa filter. 

Dunia seolah ada dalam genggaman. Benda bernama handphone, smartphone, netbook, laptop, menjadi teman baik yang menjadi blessing in disguise sekaligus ‘musuh’ terselubung.

Sexual addict menjadi kian marak terdengar gaungnya saat ini. Memang, sih, riset-riset mengenai topik ini rasanya tidak cukup banyak, karena isu seksualitas sendiri masuk dalam ranah privacy dan bahkan tabu untuk dibicarakan, terutama di negara-negara yang masih kental dengan nilai-nilai moral dan etika. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa isu ini penting diperhatikan dengan lebih serius juga. 

Kita pahami bersama bahwa hantaman digitalisasi pada era ini, disadari atau tidak, telah melahirkan perilaku-perilaku menyimpang terkait seksualitas.

Penelitian di Swedia mengungkapkan data jauh sebelum pandemi terjadi, bahwa 16,8% (dengan populasi 2450) individu dengan rentang usia 18 hingga 21 tahun, 12% laki-laki serta 6,8% populasi dunia menderita sexual addict. 

Memang isu sexual addict telah terjadi jauh sebelum pandemi. Namun demikian tidak bisa juga dipungkiri, bahwa terjadi peningkatan signifikan setelah penggunaan digital semakin meluas pada kalangan anak-anak, dan remaja, serta dewasa muda (kalangan mahasiswa) terkait PJJ.

Kasus kesehatan mental yang diakibatkan karena ketergantungan pada perilaku seksual berisiko semakin meningkat. Pembatasan-pembatasan gerak, yang berujung pada penggunaan media digital yang semakin marak menjadi salah satu sumber frustasi tersendiri bagi para anak-anak kita. 

Rasa ingin tahu menjadi salah satu alasan pemicu munculnya sexual addict ini. Masih ditegaskan oleh Ketua KPAI, Susanto, bahwa sebanyak 60 % anak-anak kita mengakses internet. Angka yang besar untuk diwaspadai di satu sisi.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memang mengharuskan, mewajibkan anak-anak kita lekat dengan dunia digital. Harus disadari bahwa hal ini juga memunculkan dikotomi pada area yang lain, jika tidak diperhatikan mendalam. 

Ada beberapa kasus terkait yang terjadi di sekitar saya. Banyak testimoni dari remaja-remaja kita menyatakan diri terjerat beberapa perilaku adiksi, dari adiksi game hingga adiksi pada perilaku seksual berisiko.

Prihatin mendalam melihat kenyataan bahwa muda-mudi kita sudah jatuh dalam perilaku-perilaku ketergantungan yang notabene akan mengganjal perkembangan masa depan mereka di kemudian hari.

Bentuk-bentuk ketergantungan seksual (sexual addict) ini bisa berupa masturbasi, intercourse dengan pasangan atau bahkan bukan pasangan, ataupun oral sex (Garcia et all, 2010).

Nah, perilaku sexual addict ini ditandai dengan munculnya sebuah keinginan atau aktivitas yang tidak lagi terkendali dan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan jumlah aktivitas tersebut.

Memang benar ada keterkaitan antara pengalaman masa lalu dengan perilaku-perilaku adiksi yang terjadi di masa sekarang. Misalnya ada trauma karena sexual abuse atau mental abuse. Pemicu-pemicu itu akan mempertinggi derajat adiksi pada perilaku tertentu.

Ada beberapa indikator yang bisa dicurigai jika di lingkungan kita ada yang mengalami hal ini, diantaranya:

  • Munculnya perilaku menarik diri yang ekstrim dari lingkungan sosial
  • Muncul perasaan minder yang berlebihan di mana sebelumnya dia adalah pribadi yang percaya diri.
  • Muncul perilaku penggunaan uang yang meningkat (lebih boros dari biasanya)
  • Kepribadian yang lebih introvert dimana sebelumnya tidak demikian

Indikator ini merupakan salah satu cara untuk membantu kita menganalisis perilaku adiksi yang terjadi pada seorang individu yang mengalaminya. Mereka membutuhkan uluran tangan kita dengan segera.

Adalah baik ketika muncul kesadaran dari individu untuk harus menghentikan perilaku ini, apalagi hal itu jika muncul dari dalam diri individu yang bersangkutan. 

Lalu hal apa aja sih yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?

3 hal ini bisa dilakukan untuk mendukung mereka:

1. Sarankan untuk bertemu dengan tenaga kesehatan profesional seperti psikiater, psikolog, konselor sehingga mereka bisa menemukan jalan untuk pulih dari kondisi tersebut Cognitive Behavioral Therapy (CBT) menjadi teknik dasar acuan yang digunakan untuk melakukan terapi modifikasi perilaku, disamping juga upaya pengobatan (farmakologi) untuk yang memang sudah parah derajat adiksinya.

2. Sarankan untuk melakukan penyaluran energi pada aktivitas-aktivitas fisik, misalnya melakukan hobi seperti olahraga, mengikuti aktivitas seni, dan lain sebagainya. Intinya adalah memberikan ruang dan waktu untuk melakukan aktivitas fisik pengganti sebanyak mungkin pada si individu tersebut.

3. Menciptakan support system yang baik dan sehat bagi individu ini.

Memulihkan perilaku adiksi memang tidak mudah. Butuh proses dan waktu yang tidak sebentar, serta dukungan dari lingkungan sekitar. Mengarahkan pada pertemanan yang sehat dan menghentikan atau menjauhkan individu dari lingkungan yang akan menyeretnya kembali dalam dunia tersebut menjadi penting. 

Mendorong pada komunitas yang memberikan pengaruh baik bagi individu merupakan cara yang paling masuk akal untuk dilakukan dalam pengentasan masalahnya.

***

Sebagai catatan penting, sexual addict itu layaknya juga serupa dengan adiksi pada obat-obatan, adiksi pada alkohol, adiksi pada game, adiksi pada judi di dalam kriteria penegakkannya secara medis maupun psikologis.

Seorang individu dengan adiksi seksual memiliki dinamika psikologis yang hampir mirip dengan adiksi lain yaitu adanya trauma atau yang biasa dikenal dengan istilah painful di masa lalu kehidupan si individu tersebut. 

Individu yang mengalami adiksi ini akan melakukan pencarian pleasure atau istilahnya pemenuhan di masa sekarang. Sehingga ‘rasa sakit’ itu terobati.

Referensi: satu, dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun