(Anka Adrian seorang yang bisa menenangkan dan mengendalikan diri dengan level tinggi, itu yang membuatku separuh kagum padanya. Laki-laki yang berjuang dan memenangkan lukanya sendiri, kemudian menjadi berkat bagi sesamanya.)
Prawirotaman, Hampir Tengah Malam
Pria berkemeja flanel kotak-kotak itu berlalu begitu saja dari hadapanku. Rasa itu memang masih ada, kuakui, tapi hanya kujadikan sekedar 'bumbu' hidup, tidak akan aku beri tempat berlebihan. Romantisme kadang bisa membunuh. Bukan karena sisa luka atau apapun, tetapi aku sangat mengenal hati Paramita Andini, dan juga hati pria yang baru saja mengantarnya pulang itu.
"Ibuuu." Kupeluk tubuh Ibu Sasantiku, wanita yang gurat cantiknya masih terlihat jelas. Wanita hebat pemilik dua harta berharganya, Mas Tama dan aku.
"Mita sayang, siapa yang mengantarmu barusan, Nak?"
"Mas Anka, Bu."
"Lho, koq gak mampir?"
"Mita tidak menyuruhnya mampir, Bu."
"Kenapa?" Ibu menghela nafas panjang sesaat, "Sudah lama lho, peristiwa itu terjadi. Masih kamu ingat terus? Maafkan dirimu, Mita."
Aku menyeruput Alegria hangat yang Ibu siapkan buatku. Ada aroma kasih sayang yang pekat aku rasakan. Separuh hidupku akan selalu kubaktikan untuknya, Ibu Sasanti. Seorang Ibu yang luar biasa, yang menanggung luka keluarga seorang diri, mampu mengampuni masa lalu, dan memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama dengan damai bersama pria (yang kusapa Bapak) yang dia kasihi hingga maut akhirnya memisahkan.
"Sayang, koq malah ngelamun sih? Mandi dulu, gih. Ibu sudah siapkan seprai pink favoritmu. Kemarin Tante Tabita memberikannya sebagai hadiah, karena tahu kamu mau pulang nengok Ibu."
"Waaah assik, baek banget Tante Bita, Bu hehe.."
Pintu kayu jati yang didesain klasik itu ditutup Ibu Sasanti, kami berdua berjalan berangkulan, seandainya tiap hari bisa menemani wanita ini, betapa damainya.
*
Sebelum kututup malam itu, aku mengirimkan pesan pada Anka Adrian ...
Pukul 08.45 di Rosella, Sleman ya, thx. Selamat malam.
Rosella, 09.01
Aku melihat sosok itu telah menunggu di meja yang sudah tertata rapi dengan breakfast pesanannya. Aku akan berkhianat pada tubuhku hari ini, hehe.. No diet, aku akan nikmati semua makanan yang sudah dipesankan Anka Adrian.
"Sorry, bro, antar Ibu Sasanti dulu tadi ke rumah Tante Tabita." Aku selalu menggunakan 'benteng' ini setelah aku memutuskan berpisah dengan Anka. Benteng itu memberi aku kekuatan. Kekuatan menghadapi realita.
"Santai, Mit.. Makan dulu."
"Ini apaan sih? banyak amat pesenannya, hahahaha... Aneh, deh.."
Pumpkin Soup, lumpia, dan beberapa masakan andalan resto ini dipesan membabi buta oleh Anka, hahaha. "Becanda ni orang.." Aku membatin orang yang sejak tadi melihatku makan dengan lahap bahkan mungkin tanpa berkedip. Mungkin dia sedang berpikir, wanita bar-bar darimana ini bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.
Aku selalu menampilkan diri apa adanya di depan orang yang hampir 3,5 tahun menemani masa-masa awal perjuanganku menjadi mahasiswa kedokteran kala itu. Dia juga orang yang selalu memberikan dorongan saat peristiwa itu terjadi, tetapi aku jugalah yang memantik lukanya, yang hingga saat ini belum bisa kumaafkan. Aku belum dapat memaafkan diriku, karena aku tidak bisa bersamanya. Anka mungkin paham kalo aku sedang menampilkan alter egoku yang lain di hadapannya saat ini.
"Mita, siapa laki-laki itu? Adakah?"
"Maksudmu?"
"Kekasihmu?"
"Tidak ada seorangpun, Mas.." Bibirku tergetar saat menyapa laki-laki di hadapanku dengan sebutan Mas. Sebutan sakral bagiku. Mas Tama, dan kakak sepupuku saja yang bisa mendapatkan sebutan itu. Lelaki lain hanya Anka.
"Kamu masih menghukum dirimu seberat itu, Mit?"
Aku menenggak ocha dingin yang tinggal sepertiga cangkir hingga ludes.
"Kalo hanya itu yang mau Mas tanyakan, aku akan pulang sekarang.." Suasana jadi lebih tegang, aku tidak menginginkan hal ini sebenarnya.
Tangan Anka spontan menarik lengan kananku sehingga mengenai jam hitam yang terkalung disitu. Aku lihat luka goresan kecil di tangan Anka "Sorry, duduklah, please."
Aku mengingat peristiwa itu kembali, peristiwa yang sangat melukaiku, dan akhirnya melukai Anka. Anka dan aku memutuskan untuk berpisah karena peristiwa itu. Aku memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan visi baru. Menurut sebagian besar orang, visi itu, adalah sebuah cara pelarianku. Pelarian dari peristiwa traumatik yang belum bisa kuterima sepenuhnya.
Banyak orang menyangkali itu, baik langsung maupun tidak. Banyak orang menceramahiku dan mengatakan banyak hal yang terkadang membisingkan. Menghakimi merupakan cara terbaik mereka.
Banyak hal yang menurutku tidak dipahami oleh mereka mengenai visiku selepas tidak bersama Anka. Tapi menurut mereka, akulah yang tidak paham makna hidup. Aku menyiksa diri, tidak mencintai diri, dan aneka macam judgement yang mereka katakan. Masa-masa berat itu justru aku lalui seorang diri. Ibu Sasanti dan Bapak selalu cukup memberikan dukungan penuh dibalik kesedihan mereka, dari jauh saja.
Mas Tama pun demikian. Hanya bisa memandangiku dengan berjarak, karena dia cukup mengerti siapa Paramita Andini, adiknya, yang penuh tekad kuat dan cenderung keras kepala. Di usia jelang 30 ini tentu bukan hal yang mudah untuk Ibu dan Mas Tama membiarkan aku melajang, karena peristwa itu. Semua meyakini peristiwa itu mengubah visi hidupku, termasuk Anka, 'bintang' terbaik yang pernah mengisi hari-hariku.
"Mita, aku tidak akan memaksa. Aku hanya memastikan bahwa Paramita Andini yang aku kenal dulu telah bisa mengampuni dirinya. Peristiwa itu sepenuhnya merupakan hal yang diijinkan terjadi oleh semesta. Aku tidak akan bicara panjang lebar lagi, karena aku tahu, Mita yang aku kenal telah bosan mendengarnya. Aku akan ada internal meeting dengan tim Diving Yogya pukul 11.00. Jika bisa berikan aku waktu di Prawirotaman untuk sowan Ibu saat makan malam nanti ya, text me, please."
Jaket Gazania Travel Parka yang digunakan Anka, menebar harum Armani khas. Kupandangi punggung Anka yang semakin jauh meninggalkanku. Lelaki yang menerima keputusanku tanpa syarat demi masa-masa berat itu. Anka sangat baik, pria dewasa yang tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, tapi justru dia menerima luka berat yang aku torehkan lagi dan lagi.
"Mbak, bisa minta billnya?"
"Oh, sudah dibayar atas nama Bapak Fritzgerald Anka Adrian.." Seorang waitress berbaju merah ala pramugari itu menjelaskan padaku.
"Baik, terima kasih, Mbak.."
Aku tinggalkan daerah Mlati, Sleman menuju RS. Bethesda. Sebelumnya pesan whatsap sudah terkirim buat Anka. Makan malamlah di rumah. 19.30, ya.
Aku merencanakan singgah ke swalayan terdekat untuk membeli beberapa bahan masakan. Sup kacang merah kesukaan Anka, prioritasku.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H