"Mita, siapa laki-laki itu? Adakah?"
"Maksudmu?"
"Kekasihmu?"
"Tidak ada seorangpun, Mas.." Bibirku tergetar saat menyapa laki-laki di hadapanku dengan sebutan Mas. Sebutan sakral bagiku. Mas Tama, dan kakak sepupuku saja yang bisa mendapatkan sebutan itu. Lelaki lain hanya Anka.
"Kamu masih menghukum dirimu seberat itu, Mit?"
Aku menenggak ocha dingin yang tinggal sepertiga cangkir hingga ludes.
"Kalo hanya itu yang mau Mas tanyakan, aku akan pulang sekarang.." Suasana jadi lebih tegang, aku tidak menginginkan hal ini sebenarnya.
Tangan Anka spontan menarik lengan kananku sehingga mengenai jam hitam yang terkalung disitu. Aku lihat luka goresan kecil di tangan Anka "Sorry, duduklah, please."
Aku mengingat peristiwa itu kembali, peristiwa yang sangat melukaiku, dan akhirnya melukai Anka. Anka dan aku memutuskan untuk berpisah karena peristiwa itu. Aku memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan visi baru. Menurut sebagian besar orang, visi itu, adalah sebuah cara pelarianku. Pelarian dari peristiwa traumatik yang belum bisa kuterima sepenuhnya.
Banyak orang menyangkali itu, baik langsung maupun tidak. Banyak orang menceramahiku dan mengatakan banyak hal yang terkadang membisingkan. Menghakimi merupakan cara terbaik mereka.
Banyak hal yang menurutku tidak dipahami oleh mereka mengenai visiku selepas tidak bersama Anka. Tapi menurut mereka, akulah yang tidak paham makna hidup. Aku menyiksa diri, tidak mencintai diri, dan aneka macam judgement yang mereka katakan. Masa-masa berat itu justru aku lalui seorang diri. Ibu Sasanti dan Bapak selalu cukup memberikan dukungan penuh dibalik kesedihan mereka, dari jauh saja.