Sebuah kisah nyata yang lahir dari sebuah penelitian mengenai fenomena kawin kontrak.
Sebuah kisah mengenai kawin kontrak pernah lekat dalam sebuah pengalaman sahabat yang mengadakan studi kasus di sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Saat itu untuk menyelesaikan strata satu di sebuah universitas di Kota Lumpia, dia memilih fenomena yang sangat terlihat kental di daerah domisilinya itu.
Studi kasus yang akhirnya menjadi sebuah karya ilmiah ini, menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan yang mengedepankan pengalaman yang dialami subyek penelitian ini berjalan cukup lama dengan metode penelitian kualitatif.
Kawin kontrak di daerah sahabat saya ini sebagian besar berlatar belakang perjalanan bisnis Warga Negara Asing (WNA). Saat itu kabupaten ini menjadi sentra bisnis mebel yang sangat menggairahkan para pengusaha mebel yang banyak berasal dari luar negeri. Secara spesifik, warga negara dari beberapa negara seperti warga negara yang berasal dari Timur Tengah datang ke kabupaten ini untuk melakukan ekspansi bisnis.
Selama beberapa waktu mereka akan tinggal di daerah ini untuk melakukan usahanya tersebut. Terkait dengan hal ini mereka melakukan kawin kontrak dengan penduduk di daerah dimana mereka berdomisili untuk sementara waktu. Aspek melegalkan usahanya menjadi latar belakang kuat yang mendorong fenomena kawin kontrak itu. Syarat administratif terkait kelegalan usaha menjadi penopang penting keputusan para WNA dalam melakukan kawin kontrak.
Kebutuhan biologis – afektif ditengarai menjadi alasan selanjutnya yang juga sangat mendasar bagi para WNA tersebut dalam melakukan praktek kawin kontrak dengan warga sekitar. Â
Fenomena ini banyak terjadi di kabupaten yang di bagian barat dan utaranya berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawin kontrak disini melibatkan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, jarang sebaliknya, bahkan kemungkinan besar tidak ada.
Ada beberapa hal yang ‘memaksa’ perempuan-perempuan disana untuk melakoni fenomena kawin kontrak dengan warga negara asing tersebut. Seperti biasa, faktor ekonomi adalah faktor yang terlihat paling mencolok (sangat klise) sebagai latar belakang terjadinya kawin kontrak.
A man who disrespects a woman,
doesn't deserve one(Coelho, Aleph)
Faktor ekonomi merupakan salah satu alasan yang menguatkan untuk melakukan praktek kawin kontrak di daerah ini. Di sisi lain juga ada beberapa yang menyebutkan untuk alasan biologis, dan yang terakhir prestise. Untuk alasan yang terakhir ini, memang terkait gaya hidup, sebuah kebutuhan yang ‘mungkin saja’ dirasa penting oleh beberapa orang yang melakukannya.
Studi yang dilakukan ini juga menyoroti duka yang dialami oleh para perempuan tersebut. Malah sebenarnya, banyak diungkapkan lebih besar duka yang ditinggalkan dari fenomena ini.
Aspek Legalitas
Kawin kontrak adalah sebuah bentuk perkawinan yang akan dibatasi oleh waktu tertentu sesuai kesepakatan dua belah pihak, baik WNA dan pasangannya. Bentuk perkawinan ini tidak sah menurut UU No. 1 Tahun. 1974, karena melanggar ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, hal ini karena tidak dilakukannya pencatatan pada pejabat yang berwenang (KUA). Bila kawin kontrak ini suatu saat akan membuahkan keturunan, bagaimana dengan status sang anak?
Aspek Psikologis
Kawin kontrak ini sebagian besar merupakan hubungan yang mungkin saja tidak sepenuhnya bisa melibatkan emosi secara penuh, karena banyak ketidakpastian dan hanya berdasar hubungan transaksional saja. Setelah kontrak tersebut selesai maka afeksi-emosi tersebut ‘harus’ selesai. Apakah hal ini sebuah hal yang mudah? Saya koq sangsi.
Aspek Sosial - Etis
Kawin kontrak memang bukan opsi populer yang bisa diterima oleh masyarakat dengan adat ketimuran yang kental. Banyak stigma negatif yang akan disandang oleh mereka yang telah usai melakukannya. Masyarakat menjadi salah satu kontrol sosial yang signifikan dalam hal ini. Stigma negatif, nyinyiran tetangga akan menjadi sebuah hal utama yang bisa menjadi masalah berikutnya.
Aspek Budaya
Menjalankan praktek kawin kontrak dengan warga negara asing juga merupakan hal yang bisa dibilang tidak mudah. Budaya kedua pasangan pasti sangat berbeda, apalagi kondisi yang dialami oleh pasangan kawin kontrak, dengan muatan transaksional bisnis yang kuat, tentu bukan perkara mudah. Ada sentuhan 'feodalisme' di dalamnya (walau tidak bisa digeneralisir). Budaya dan bahasa menjadi sebuah kendala yang berarti sejak kontrak dilakukan. Hal keempat ini menjadi pertimbangan yang seharusnya dipikirkan matang.
Kisah nyata dialami oleh salah seorang pelaku kawin kontrak yang ditemui oleh sahabat saya dalam studi kasusnya tersebut, sebut saja Stevi. Kesepakatan dengan WNA yang menjadikan Stevi sebagai istri kontrak selama beberapa waktu tesebut mengatur sejumlah perjanjian, diantaranya, bila dalam pernikahan tersebut lahir anak laki-laki, maka kehidupan Stevi dan anaknya akan ditopang secara penuh dan permanen. Anak tersebut akan diakui secara sah sebagai anak dari WNA tersebut, namun bila anak yang dilahirkan kelak berjenis kelamin perempuan maka perjanjian tersebut otomatis batal.
Tentu bukan hal yang mudah bagi Stevi dalam melakoni praktek kawin kontrak semacam ini. Bila dikaji lebih dalam maka pertimbangan ekonomi tentu bukan segalanya. Banyak sekali hal yang tidak bisa diterima secara akal sehat. Banyak duka dan negatifnya, bahkan. Bagaimana dengan kehidupan anak perempuan yang dilahirkan dalam situasi tersebut? Bukan saja aspek ekonominya, tetapi bagaimana dengan aspek legalitas, psikologis, sosial sang anak kelak? Lalu, bagaimana dengan dampak psikis, emosi, juga sosial yang akan dirasakan oleh perempuan-perempuan seperti Stevi?
Hal-hal di atas layak menjadi sebuah pertimbangan terkait keputusan menjalani kawin kontrak dengan WNA. Membenturkan masalah ini dengan pertimbangan ekonomi – prestise saja tidaklah bijak.
Edukasi pada perempuan di daerah-daerah potensial dilakukannya kawin kontrak memang terus digencarkan. Banyak sekali hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangakan terkait praktek kawin kontrak. Payung hukum yang jelas seharusnya dipikirkan, terutama bagi keturunan dari pasangan yang menjalankan kawin kontrak dengan WNA.
Self esteem seorang perempuan menjadi sasaran bidikan jitu yang harus ditembak. Membangun konsep diri positif menjadi sebuah hal krusial dalam memberikan edukasi bagi mereka.
Semoga bermanfaat.
Catatan :
Self Esteem adalah cara pandang individu atau cara seseorang dalam memandang value (nilai) yang ada dalam dirinya.
Referensi : satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H