Faktor ekonomi merupakan salah satu alasan yang menguatkan untuk melakukan praktek kawin kontrak di daerah ini. Di sisi lain juga ada beberapa yang menyebutkan untuk alasan biologis, dan yang terakhir prestise. Untuk alasan yang terakhir ini, memang terkait gaya hidup, sebuah kebutuhan yang ‘mungkin saja’ dirasa penting oleh beberapa orang yang melakukannya.
Studi yang dilakukan ini juga menyoroti duka yang dialami oleh para perempuan tersebut. Malah sebenarnya, banyak diungkapkan lebih besar duka yang ditinggalkan dari fenomena ini.
Aspek Legalitas
Kawin kontrak adalah sebuah bentuk perkawinan yang akan dibatasi oleh waktu tertentu sesuai kesepakatan dua belah pihak, baik WNA dan pasangannya. Bentuk perkawinan ini tidak sah menurut UU No. 1 Tahun. 1974, karena melanggar ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, hal ini karena tidak dilakukannya pencatatan pada pejabat yang berwenang (KUA). Bila kawin kontrak ini suatu saat akan membuahkan keturunan, bagaimana dengan status sang anak?
Aspek Psikologis
Kawin kontrak ini sebagian besar merupakan hubungan yang mungkin saja tidak sepenuhnya bisa melibatkan emosi secara penuh, karena banyak ketidakpastian dan hanya berdasar hubungan transaksional saja. Setelah kontrak tersebut selesai maka afeksi-emosi tersebut ‘harus’ selesai. Apakah hal ini sebuah hal yang mudah? Saya koq sangsi.
Aspek Sosial - Etis
Kawin kontrak memang bukan opsi populer yang bisa diterima oleh masyarakat dengan adat ketimuran yang kental. Banyak stigma negatif yang akan disandang oleh mereka yang telah usai melakukannya. Masyarakat menjadi salah satu kontrol sosial yang signifikan dalam hal ini. Stigma negatif, nyinyiran tetangga akan menjadi sebuah hal utama yang bisa menjadi masalah berikutnya.
Aspek Budaya
Menjalankan praktek kawin kontrak dengan warga negara asing juga merupakan hal yang bisa dibilang tidak mudah. Budaya kedua pasangan pasti sangat berbeda, apalagi kondisi yang dialami oleh pasangan kawin kontrak, dengan muatan transaksional bisnis yang kuat, tentu bukan perkara mudah. Ada sentuhan 'feodalisme' di dalamnya (walau tidak bisa digeneralisir). Budaya dan bahasa menjadi sebuah kendala yang berarti sejak kontrak dilakukan. Hal keempat ini menjadi pertimbangan yang seharusnya dipikirkan matang.
Kisah nyata dialami oleh salah seorang pelaku kawin kontrak yang ditemui oleh sahabat saya dalam studi kasusnya tersebut, sebut saja Stevi. Kesepakatan dengan WNA yang menjadikan Stevi sebagai istri kontrak selama beberapa waktu tesebut mengatur sejumlah perjanjian, diantaranya, bila dalam pernikahan tersebut lahir anak laki-laki, maka kehidupan Stevi dan anaknya akan ditopang secara penuh dan permanen. Anak tersebut akan diakui secara sah sebagai anak dari WNA tersebut, namun bila anak yang dilahirkan kelak berjenis kelamin perempuan maka perjanjian tersebut otomatis batal.