Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Mengelola Luka

23 Juni 2021   11:17 Diperbarui: 24 Juni 2021   01:36 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi / Sumber : Unsplash.com (Fa Barboza)

 Apakah luka yang diupayakan sembuh itu bisa hilang 100%? Bagi saya, (yang lamban dan kering ini) tentu saja tidak. Residu luka pasti masih ada. Tapi apakah berarti hidup harus berhenti dan terperangkap dalam sesak dan sakitnya luka itu? Jawaban tegas, TENTU TIDAK.

Potensi keparahan yang merusak akan terjadi jika luka-luka itu tidak kita upayakan sembuh. Kesembuhan satu individu dengan individu lain tidak sama. Proses menuju kesembuhan itu pun berbeda. Tidak bisa dipaksa atau disamakan.

Bagaimana jika kita tidak mengelola dan mendiamkan luka itu? Tentu hal ini akan menjadi bom waktu yang merusak diri dan sesama.

Kita akan menjadi pribadi penuh amarah, kasar, penuh prasangka, lekat dengan iri hati dan nuansa selalu ingin menjatuhkan orang lain, dan banyak ragam lainnya.

Keputusan sembuh bukan keputusan dari orang lain. Keputusan sembuh adalah murni keputusan individu yang terluka itu.

Luka bisa juga memberkati, jadikan ini sebagai tagline pengingat yang tebal. Yuk, simak beberapa catatan di bawah ini, agar luka itu dapat diupayakan menjadi berkat bagi sesama.

5 catatan penting terkait seni mengelola luka :

1. Akui bahwa luka itu menyakiti diri kita

Mengakui adalah hal terpenting. Denial yang akut terhadap luka yang kita alami akan membuat kita semakin sulit untuk 'sembuh'. Persepsi sangat penting untuk dibangun. Validasi emosi menjadi sebuah hal penting dalam membangun kesadaran bahwa kita memang terluka. Tindakan melakukan validasi terhadap emosi-emosi kita sangat memberi dukungan untuk mengakui bila luka itu menyakiti kita.

Sama halnya ketika kita merasakan tertusuk pisau, kata "aduh" atau teriakan yang menggema karena kesakitan adalah penting. Bukan diam dan hanya memasang muka dingin seolah tidak ada apa-apa.

2. Luka sangat mungkin ditorehkan oleh orang-orang terdekat kita. 

Poin kedua ini menjadi sangat penting juga untuk ditekankan. Semakin dekat relasi dengan individu lain maka potensi luka yang terjadi karena gesekan-gesekan dengan orang-orang terdekat ini menjadi lebih besar. Perlu disadari bahwa kita akan selalu melihat orang lain yang jauh lebih baik, padahal senyatanya hal ini tidak apple to apple.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun