Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tabir di Balik Memilih Jurusan Psikologi

15 November 2020   07:30 Diperbarui: 17 November 2020   02:18 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/Gerd Altmann)

Alasan yang terakhir ini juga menjadi sebuah alasan yang dikemukakan oleh beberapa kawan. Tentu saja bukan eksklusif untuk teman-teman yang akhirnya berkuliah di Fakultas Psikologi. Alasan serupa bisa terjadi di jurusan-jurusan lainnya.

sumber simbol Psikologi dari Pinterest.com diolah dengan Canva/Dokpri
sumber simbol Psikologi dari Pinterest.com diolah dengan Canva/Dokpri

Selain alasan-alasan di atas, mungkin masih banyak alasan lain yang belum terangkum di sini.

Terlepas dari alasan-alasan yang dikemukakan di atas, saya yakin sekali, sama seperti memilih pasangan hidup, ketika sudah masuk dan berkiprah dalam dunia profesional psikologi, hal ini merupakan sebuah jalan yang diizinkan Tuhan untuk dapat terlibat mendalami jurusan yang mempelajari perilaku manusia.

Menekuni dunia psikologi bukan tanpa aral melintang. Banyak hal tak ideal juga bisa terjadi. Ada pernyataan, dokter pun bisa sakit. Demikian pun orang-orang yang terjun dalam dunia psikologi ini.

Gangguan mental dari ringan sampai berat bisa dialami.

Seorang dosen dan sekaligus psikolog senior di dalam sebuah acara pembekalan mata kuliah kode etik psikologi menitipkan pesan. “Menekuni dunia ini harus memiliki kepribadian yang kuat”.

Menyelami kata-kata dosen ini butuh waktu dan proses yang tak sebentar.

Pengalaman-pengalaman yang menggambarkan pertarungan diri bisa mewakili kata-kata dosen saya tersebut.

Sangat afdol rasanya ketika menangani sebuah kasus dimana kita sendiri pernah mengalaminya. Apalagi sampai pada fase “selesai” dengan kasus tersebut.

Menangani sebuah kasus yang demikian memang berbeda rasanya. Berbeda dengan menangani kasus jika hanya dengan berbekal teori-teori saja, tapi memang jika boleh memilih jangan sampai mengalami sendiri “perjuangan melawan diri” tersebut. Sangat tidak mudah untuk “keluar” dari fase itu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun