Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Melihat 3 Fenomena di Masyarakat akan Diagnosa Kesehatan Mental

12 Oktober 2020   12:06 Diperbarui: 14 Oktober 2020   11:15 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi seorang psikiater menulis catatan | (sumber:pexels.com/polina zimmerman)

"Jangan bermain-main dengan diagnosa...!"

Ada beberapa fenomena yang terjadi di dalam masyarakat kita terkait dengan isu-isu kesehatan mental. Fenomena itu terkait dengan permasalahan seputar diagnosa.

Ada tiga hal yang terkait dengan permasalahan tersebut. Yuk, kita intip satu per satu.

1. "Bermain-main" dengan Permasalahan Seputar Diagnosa

Banyak orang yang sok merasa bisa memberi diagnosa hanya dengan berbekal  pengalaman, atau mungkin dari hobinya membaca topik-topik kesehatan mental. Mereka sering lupa akan fungsi kewenangan atau otoritas profesi kesehatan mental.

Mereka yang memiliki kewenangan tersebut diantaranya mereka yang berprofesi Psikolog dan Psikiater. Hati-hati karena kewenangan mendiagnosa merupakan otoritas penuh sejumlah profesi yang memiliki kewenangan khusus. 

Kewenangan mendiagnosa hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki lisensi untuk mendiagnosa gejala-gejala gangguan jiwa (mental). Mereka adalah yang memiliki kewenangan itu adalah profesi Psikolog Klinis dan Psikiater.

Tak menampik bahwa ranah kesehatan mental saat ini lambat-laun sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Banyak fasilitas yang telah diberikan untuk menangani gangguan-gangguan mental.

Sedikit demi sedikit, banyak orang yang telah mulai "melek" pada isu-isu kesehatan mental. Seirama dengan dicelikkannya mata kita pada permasalahan kesehatan mental tersebut, muncul permasalahan baru.

Sedikit tahu, sedikit mengerti, sedikit bisa, lalu banyak berkoar-koar mengenai diagnosa yang sebenarnya secara kewenangan ada pada tenaga-tenaga profesi kesehatan mental yang telah disebutkan di atas.

Stigma di ranah kesehatan mental memang belum sepenuhnya hilang. Kita masih harus berjuang untuk mengubah persepsi masyarakat (terutama Indonesia) mengenai stigma yang masih melekat kuat pada isu-isu gangguan mental yang terjadi di masyarakat.

Saya sering mendengar celetukan-celetukan dari orang-orang yang nampaknya kurang pas untuk mengatakan hal itu di depan umum. Tentu saja materi "celetukan" di luar ranah dan kapasitasnya, misalnya saja ...

"Kayaknya, dia Bipolar deh..."
"Eh, tau gak anaknya si Itu kan Autis.." 
"Kan emang dia ADHD!"
"Pantesan, si Anu memang kena Anxiety Disorder...!"

Perlu digarisbawahi, tentu saja hal ini berkaitan dengan masalah etika.

Kita yang tidak memiliki kapasitas, kompetensi, otoritas untuk mengatakan dengan cara ngasal tersebut, jelas bertentangan dengan etika masyarakat dan juga etika dalam profesionalisme.

Terlebih terkait dengan stigma yang cenderung masih belum hilang sepenuhnya, tentu akan membuat orang-orang yang kita bicarakan tersebut dapat menjadi tidak nyaman.

Beda masalah jika berhadapan dengan orang-orang yang cuek bebek dan cenderung "bebas" serta menerima masalah stigma, dan berprinsip masa bodo teuing dengan apa kata orang dan berpikir "yang penting aku sehat!"

Memberi edukasi dan pendampingan kepada mereka yang membutuhkan bantuan ahli kesehatan mental merupakan sebuah pertolongan. Arahkan mereka langsung berkonsultasi kepada Konselor, Psikolog atau Psikiater.

Bermain-main dengan diagnosa sama seperti ketika kita merasakan gejala gangguan fisik, seperti pusing, demam dan pilek yang tak kunjung sembuh, lalu dengan kemampuan dan pengalaman seadanya kita berikhtiar sendiri.

Kita "potong kompas" dengan menganalisa sendiri apa penyakit yang terjadi pada diri kita atau lebih concern terhadap teman (yang tidak memiliki latar belakang medis sama sekali) yang pernah memiliki gejala serupa, dan mengikuti saran yang diberikan. Lalu dengan berbekal hal itu kita lantas membeli obat tanpa resep di apotik atau toko obat terdekat untuk mengobati gejala penyakit yang kita rasakan.

Eh, ternyata analisa dan diagnosa kita serta teman kita tersebut keliru! Apa akibatnya? Jelas akan dapat memperparah kondisi tubuh kita.

Berikut ini hal fatal yang bisa terjadi ketika salah memberikan diagnosa:

a. Menjadi bahan rumor dan menarik diri
b. Salah penanganan
c. Menambah parah situasi penderita

Kita lanjutkan ke fenomena kedua..

2. Takut Menerima Diagnosa Terkait Kondisi Kesehatan Mental

ilustrasi seorang psikiater menulis catatan | (sumber:pexels.com/polina zimmerman)
ilustrasi seorang psikiater menulis catatan | (sumber:pexels.com/polina zimmerman)

Ada pula fenomena ketakutan terhadap diagnosa gangguan mental (psikologis), dan cenderung mengabaikan dan bahkan sampai "melawan" diagnosa tersebut sebagai bentuk kegagalan kita menerima kondisi. Mengapa penting sekali tahapan menerima diagnosa gangguan mental itu?

Diagnosa ditegakkan agar tidak salah penanganan. Misalnya saja bisa digambarkan sebagai berikut. Seorang dokter menyatakan bahwa pasien A mengidap penyakit Diare. 

Pasien A harus mendapatkan penanganan yang tepat dengan memberikan pengobatan  klasifikasi gejala penyakit Diare. Jika diberikan obat penyakit Batuk dan Pilek, jelas sangat keliru.

Diagnosa yang tepat akan menentukan respon treatment yang tepat sasar juga. Demikian juga terhadap diagnosa pada gangguan-gangguan mental (psikis/psikologis seseorang) Diagnosa ditegakkan untuk memberi penanganan yang tepat dan komprehensif.

Memang tidak mudah untuk menerima diagnosa penyakit atau diagnosa gangguan mental. Dibutuhkan penerimaan dan kerendahan hati untuk dapat melakukannya.

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang sahabat lama menghubungi secara tiba-tiba. Kami lama tidak berkomunikasi.

Dia mengatakan bahwa sedang mengalami gejala-gejala psikosomatis, dan hal ini telah berlangsung kurang lebih 6 bulan lamanya. Saya sangat sedih mendengarnya. Di tempat domisili dia, sebenarnya tidak kurang tenaga kesehatan mental.

Ada beberapa Psikolog dan Psikiater yang berpraktek di beberapa Rumah Sakit disana.

Saya menyarankan untuk terlebih dahulu datang untuk berkonsultasi dengan Psikolog atau Psikiater. Awalnya dia merasa takut dan enggan. Setelah beberapa waktu akhirnya dia pergi juga, dan berhasil mendapatkan penanganan yang tepat terhadap gangguan kecemasan yang dialaminya.

Saat mendengar kabarnya, saya sangat lega karena dia bisa lebih berdaya guna dengan treatment yang sedang dijalaninya. Bahkan keluarganya mendapat penanganan family- therapy dari Psikolog yang telah didatanginya.

Satu pengalaman lain saya peroleh dari orang tua yang meminta penanganan pada Psikolog Klinis Anak. Ibu ini merasa bahwa ada sejumlah gejala yang berbeda dari anaknya.

Sensitifitas yang dirasakan oleh Ibu ini ditindaklanjuti dengan membawa anaknya ke sebuah lembaga Psikologi Anak yang melakukan praktek klinis di daerahnya.

Bersyukur sekali, anaknya mengalami banyak kemajuan setelah mengalami intervensi.

Kepekaan kita terhadap sinyal tubuh dan mental amat sangat diperlukan sehingga kita bisa menjaga serta merawat kesehatan tubuh dan jiwa kita dengan lebih optimal.

Fenomena yang terakhir adalah ...

3. Mengambil Jarak dan Beroposisi dengan Diagnosa Kesehatan Mental

Kembali berjumpa dengan sebuah pengalaman. Ada seorang Ibu yang kesulitan menerima diagnosa gangguan mental mengenai anaknya. Sang Ibu cenderung "melawan" dan cenderung mengatakan bahwa anak saya baik-baik saja, sehingga treatment tidak bisa dilakukan secara maksimal.

Saya melihat fenomena yang ketiga ini sebagai bentuk perlawanan atau pengabaian terhadap diagnosa yang diberikan pada si anak.

Hal ini berujung pada terhambatnya tumbuh kembang si anak.

Tak jarang juga ada orang-orang yang bersikap antipati dan cenderung bersikap pasif serta tidak melakukan treatment apapun karena belum menerima kondisi yang dialami dirinya.

Sikap-sikap semacam ini sering Saya jumpai. Mengabaikan sejumlah treatment yang seharusnya dilakukan membawa dampak yang kurang baik pada anak.

Ada juga yang mengambil posisi melawan dengan cara tidak percaya dengan keterangan-keterangan atau seputar isu kesehatan mental. Kategori yang satu ini memiliki latar belakang "luka" terhadap diagnosa sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk "berdamai" dengan diagnosa.

Edukasi yang dilakukan secara periodik mengenai pentingnya  topik-topik kesehatan mental dan diagnosa akan memberi pemahaman yang lebih luas lagi kepada masyarakat.

3 Alasan pentingnya bertemu dengan tenaga Konselor, Psikolog, atau Psikiater:

Mendapat penanganan yang cepat dan tepat
Penanganan menjadi lebih fokus dan tepat sasaran
Mendapat peluang-peluang pengembangan diri

Sebuah paradigma berpikir yang baru harus dikedepankan untuk menanggapi sebuah diagnosa kesehatan mental. Diagnosa adalah sebuah tools yang digunakan ahli kesehatan mental untuk memberikan penanganan yang komprehensif dan tepat sasaran.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun