“Tak kenal maka tak sayang”
Sebenarnya judul di atas lebih sebagai perenungan diri sendiri. Apakah saya sebagai orang Indonesia sudah benar-benar mengenal Indonesia, dan mencintainya.
Mengurai mengenai cinta tanah air, maka penting sekali untuk mengenalnya terlebih dahulu.
Saat menjalankan profesi sebagai guru, perenungan ini sering membuat saya tergugah dan bertanya-tanya demikian:
“Apakah siswa saya lebih mengenal Tteokbokki ketimbang Tiwul?”
“Apakah siswa saya lebih mengenal Banana Milk ketimbang Dawet Ayu khas Banjarnegara?”
“Apakah siswa saya lebih akrab dengan tokoh-tokoh Avenger ketimbang tokoh Punakawan?”
“Apakah siswa saya tak suka dengan Wayang Kulit dan lebih menyukai konser-konser K-Pop?”
“Apakah siswa saya bahkan tidak mengenal nama-nama pulau di Indonesia?”
“Apakah siswa saya takut dibilang ketinggalan jaman ketika mencintai kesenian Reog Ponorogo?”
Sejumlah pertanyaan itu menghantui dan semakin membawa pada sebuah pemikiran untuk mengenalkan sejumlah kearifan-kearifan lokal yang sungguh kaya ini kepada generasi muda melalui ragam aktivitas.
Semua yang berbau luar negeri memang di permukaan terasa lebih menarik dan memuat gengsi, tidak semua, tapi seringkali demikian.
Sesuatu yang out of the box diperlukan untuk mengenalkan dan menggencarkan budaya kita demi memenangkan persaingan dengan hantaman budaya dari luar.
Coba saja, jika ada kerabat pulang dari luar negeri, apa saja yang dibawanya pasti punya nilai prestise lebih, dibanding jika ada kerabat lain, yang hanya pulang dari daerah-daerah domestik di Indonesia misalnya.
Mengapa hal ini terjadi? Jujur saja saya pribadi tidak bisa menjawab. Apakah rekan Kompasianer bisa menolong memberi jawabnya?
Saya pribadi tidak anti terhadap perkembangan dunia luar. Hanya saja, saya selalu menyadarkan diri saya untuk tetap ingat bahwa saya tidak boleh kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia hanya karena pesona luar kerap membawa gengsi tersendiri.
Banyak tayangan-tayangan yang menjadi kompetitor budaya-budaya lokal kita, sebaliknya tayangan-tayangan lokal yang menampilkan budaya kita sangat kurang.
Bila ada pun cara pengemasannya pun terlibas oleh pesona tayangan-tayangan dari luar.
Hal ini mungkin saja, karena tayangan yang bertemakan budaya lokal sepi peminat.
Lalu,
Apakah mungkin Reog Ponorogo dibuat semenarik tayangan film Avatar?
Apakah mungkin Wayang Kulit dibuat semenarik tayangan film Avenger?
Apakah mungkin Pentas Ketoprak dibuat kekinian sehingga yang menonton seperti perhelatan piala dunia dalam sepakbola?
Bangsa ini bangsa yang sangat beragam kebudayaan. Batik dan kain Ulos setidaknya bisa dikenal oleh generasi muda sebagai sebuah asset budaya yang tak kalah menarik. Kain Lurik, Tenun Ikat dan Songket juga tak kalah mempesonanya dibandingkan dengan produk fashion dari luar negeri.
Memberikan persepsi bahwa budaya Indonesia juga budaya yang tidak kalah menarik dengan gempuran hiburan dari luar negeri.
Membuat generasi muda mencintai budaya memang diperlukan suatu usaha-usaha mendasar.
Mencintai budaya dan kearifan lokal juga keren dan kekinian, lho.
Banyak wisman juga yang tertarik bahkan lebih cinta dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa kita.
Saya pernah membaca sejarah restorasi Meiji di Jepang. Dalam segala kemajuannya, negara ini masih terus mempertahankan nilai-nilai budayanya hingga kini.
Bahkan dalam sebuah ulasan, seorang penulis dari negara barat memberikan pernyataan, “Secara lahiriah Jepang adalah Barat, namun secara batin tetap Jepang”, hal ini saya kutip dari artikel Kompasiana berikut.
Menerima budaya luar bukanlah sesuatu yang salah, apalagi budaya yang kita terima itu baik dan membangun, namun demikian penting juga untuk mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki ragam budaya yang bagus dan membanggakan.
Beberapa hal berikut bisa dijadikan ide untuk tetap melestarikan “jati diri” bangsa pada generasi muda kita :
Mengenalkan budaya Indonesia sedini mungkin
Baik dalam keluarga maupun di sekolah, hal ini menjadi penting. Seperti anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri saat fase pubertas, sedini mungkin pengenalan wawasan akan budaya bangsa Indonesia bisa diperkenalkan. Banyak sekali media yang bisa digunakan untuk memfasilitasi.
Hal lain bisa dilakukan pada anak-anak usia dini dengan mengajak mereka belajar ke museum-museum, seperti yang dilansir di Kompas.com (16/08/2019).
Memberi pengetahuan mengenai budaya yang ada di Indonesia melalui infografik di media-media sosial
Mengakses media sosial begitu mudah saat ini. Sisipan infografik-infografik mengenai pengetahuan seputar budaya sangat dianjurkan. Tampilan-tampilan kekinian juga dibutuhkan agar pengetahuan dalam balutan infografik tetap diminati.
Membuat kegiatan yang bertemakan kearifan lokal dengan format kekinian
Kegiatan-kegiatan PENSI, Gelar Seni, atau lomba-lomba saat Jeda Semester di sekolah bisa digunakan untuk media pengenalan budaya. Tema kearifan lokal bisa dipilih sebagai tema rujukan.
Kegiatan-kegiatan ini memang harus dikemas dengan apik dan kreatif sehingga “membekas” dan menjadi gerbang pembuka kecintaan mereka terhadap budaya.
Membuat pameran-pameran seni budaya
Pameran budaya menjadi suatu ajang yang bisa digunakan untuk membuat generasi muda akrab dengan budaya Indonesia. Menyelipkan informasi-informasi sejarah di balik seni budaya yang ditampilkan akan menjadi satu kunci penting.
Membuat kampanye-kampanye mengenai budaya dan kearifan lokal
Memanfaatkan media sosial yang generasi muda miliki akan sangat ampuh. Membuat tugas-tugas yang mengulik dan mengulas tentang budaya yang beragam akan memberikan efek domino.
Kampanye ini harus diupayakan dan didukung oleh keluarga, sekolah, dan melibatkan lingkungan juga sehingga lebih efektif.
Mengajak generasi muda terlibat aktif dalam gerakan-gerakan cinta budaya
Mengikuti komunitas-komunitas budaya memang disarankan. Komunitas budaya akan menjadi jembatan bagi generasi muda untuk tetap melestarikan kecintaan tersebut.
Misalnya mengikuti komunitas tari daerah dan mempelajarinya, akan menjadi satu hal yang bermanfaat.
Menjadikan generasi muda menjadi duta budaya merupakan hal yang bisa dilakukan juga.
Partisipasi aktif media dalam mendukung gerakan cinta budaya bangsa Indonesia
Media memiliki peran kunci. Penting sekali untuk ikut menyebarluaskan kecintaan terhadap budaya dengan menayangkan konten-konten terkait budaya-budaya bangsa.
Jika bukan kita siapa lagi?
Mencintai budaya merupakan suatu hal yang mutlak. Dengan mengenalinya, mencintai akan bisa dilakukan dengan lebih mudah.
“Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu” penggalan lirik lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud ini akan nyata, cinta tanah air membawa hati dan raga tetap kembali pada tanah air.
Catatan :
Tteokbokki : penganan khas Korea yang terbuat dari tepung beras, yang dimasak dalam bumbu pedas dan manis.
Tiwul : penganan Indonesia pengganti nasi (beras) yang terbuat dari singkong.
Ulos : kain tenun khas Batak.
Songket adalah : tenunan dengan menggunakan benang emas yang populer di Sumatera Barat.
Tenun Ikat :kain tenun tradisional dari Nusa Tenggara Timur
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H