Sejumlah pertanyaan itu menghantui dan semakin membawa pada sebuah pemikiran untuk mengenalkan sejumlah kearifan-kearifan lokal yang sungguh kaya ini kepada generasi muda melalui ragam aktivitas.
Semua yang berbau luar negeri memang di permukaan terasa lebih menarik dan memuat gengsi, tidak semua, tapi seringkali demikian.
Sesuatu yang out of the box diperlukan untuk mengenalkan dan menggencarkan budaya kita demi memenangkan persaingan dengan hantaman budaya dari luar.
Coba saja, jika ada kerabat pulang dari luar negeri, apa saja yang dibawanya pasti punya nilai prestise lebih, dibanding jika ada kerabat lain, yang hanya pulang dari daerah-daerah domestik di Indonesia misalnya.
Mengapa hal ini terjadi? Jujur saja saya pribadi tidak bisa menjawab. Apakah rekan Kompasianer bisa menolong memberi jawabnya?
Saya pribadi tidak anti terhadap perkembangan dunia luar. Hanya saja, saya selalu menyadarkan diri saya untuk tetap ingat bahwa saya tidak boleh kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia hanya karena pesona luar kerap membawa gengsi tersendiri.
Banyak tayangan-tayangan yang menjadi kompetitor budaya-budaya lokal kita, sebaliknya tayangan-tayangan lokal yang menampilkan budaya kita sangat kurang.
Bila ada pun cara pengemasannya pun terlibas oleh pesona tayangan-tayangan dari luar.
Hal ini mungkin saja, karena tayangan yang bertemakan budaya lokal sepi peminat.
Lalu,
Apakah mungkin Reog Ponorogo dibuat semenarik tayangan film Avatar?