Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

4 Proses Penelusuran Informasi Korban Kekerasan Anak

28 Juli 2020   15:43 Diperbarui: 29 Juli 2020   03:04 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi korban kekerasan anak (sumber: thinkstockphotos via kompas.com)

Kekerasan pada anak lagi-lagi terjadi. Keprihatinan pada pandemi, tidak cukup menyurutkan langkah pelaku kekerasan anak untuk berbuat keji pada anak yang seharusnya dilindungi. Kabar berita mengenai pandemi juga disisipi oleh kabar-kabar bernuansa ngeri ini.

Pandemi yang usainya masih belum dapat tertebak, dan episodenya masih belum berakhir ini, juga memberi kabar adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terjadi di Jawa Timur, dan angkanya mencapai 700-an kasus. Berita ini dilansir dari Kompas.com (22/07/2020).

Sejenak terbayang pada beberapa kasus kekerasan pada anak di masa silam.

Ingatkah Anda pada kasus kekerasan anak yang terjadi di Denpasar, Bali atas diri anak bernama Engeline Megawe?

Kasus Robot Gedek beberapa belas tahun lalu mungkin masih terngiang di benak kita. Kejahatan seksual sodomi yang dilakukan sang pelaku pada anak-anak tersebut, mengganjarnya pada sebuah hukuman mati.

Anak sejatinya menjadi figur yang dilindungi oleh orang-orang dewasa di sekelilingnya.

Anak walaupun secara fisik maupun mental masih muda dan lemah, tidak berarti mereka bisa diperlakukan semena-mena. Bagaimanakah jika akhirnya hal keji itu menimpa anak-anak?

Kerusakan yang diakibatkan sangat hebat tentunya, bahkan sanggup mengubah bangunan karakter dan kepribadian mereka. Tentunya anak-anak memiliki respons yang belum matang saat menghadapi masalah atau krisis yang terjadi di dalam diri mereka.

Proses-proses identifikasi belum berkembang maksimal layaknya orang dewasa. Anak-anak kurang bisa atau bahkan belum bisa mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam diri mereka. Mereka cenderung masih mengalami kesulitan dalam mengekspresikan perasaan mereka.

Pada anak-anak yang mengalami pengalaman krisis, atau trauma kekerasan pada dirinya, memberi tahu keadaan yang menimpanya bukanlah sesuatu hal yang mudah. Pelacakan informasi pada anak-anak penyintas kekerasan bukan hal yang gampang.

Emosi mereka, kosakata mereka, sistematika mereka dalam menceritakan pengalaman traumatis terkait runtutan peristiwa yang mereka alami menjadi sebuah kendala berarti.

Tentu saja pelacakan (penggalian) informasi menjadi suatu tahapan yang penting dalam proses pemulihan mereka.

Beberapa hal berikut bisa menjadi pedoman (rambu-rambu) bagi praktisi pemulihan trauma anak dalam mengungkap informasi seputar kekerasan yang dialami oleh anak :

1. Proses mengenali anak
Melakukan pengenalan diri terhadap anak korban kekerasan menjadi hal yang penting. Bahasa anak-anak dan “rasa” sebagai seorang teman diperlukan, sehingga anak akan mengalami rasa nyaman dalam bercerita. Anak tidak mengalami rasa tertekan.

Penting menyampaikan bahwa kita adalah teman mereka. Proses mengenalkan diri kita sebagai teman mereka satu tahapan yang penting.

Proses pengenalan anak ini harus dilakukan dengan cara yang ramah anak. Bisa dengan situasi atau kerangka bermain. Salah satu cara yang saya gunakan adalah dengan bermain pasir dan bentuk-bentuk hewan. Teknik bercerita memainkan peran di sini.

Teknik pengenalan yang satu ini cukup efektif. Banyak teknik bermain lainnya yang bisa digunakan untuk proses yang pertama ini. Informasi permainan kesukaan si anak juga bisa menjadi sebuah referensi untuk proses ini.

2. Proses membangun kedekatan
Masih kelanjutan dari proses pertama tadi. Bukan hal yang mudah bagi anak untuk membicarakan trauma yang dihadapinya. Anak membutuhkan sosok yang membuatnya aman dan nyaman untuk menceritakan pengalaman buruknya.

Penting bagi praktisi pemulihan trauma anak untuk memiliki pengetahuan tentang si anak tersebut. Penting untuk mengetahui hal yang disukai, atau hal apa yang mereka takutkan. Memberikan rasa ketertarikan kita pada seluruh aspek kehidupan anak baik yang senang atau sedih, juga faktor penentu.

Ketulusan dalam membangun kedekatan sangat dibutuhkan. Anak akan peka terhadap kita sebagai praktisi yang dengan segenap hati akan memberikan kenyamanan dan keamanan pada mereka.

Mereka akan “menyandarkan” perasaan dan percayanya pada kita, jika perasaan aman dan nyaman terhadap kita hadir dalam diri mereka. Sekali lagi kerangka yang dikedepankan adalah kerangka bermain, kerangka aktivitas dunia anak-anak dalam membangun kedekatan ini.

3. Proses menyiapkan untuk penggalian informasi
Tahap ini adalah tahapan di mana kesabaran menjadi kunci utama. Jangan memaksa anak untuk menceritakan.

Penting sekali bagi kita untuk menyiapkan ruang yang aman dalam proses mereka menyiapkan mental untuk menceritakan pengalaman traumatiknya. Anak diajarkan strategi untuk melakukan relaksasi dalam menghadapi rasa cemasnya melalui teknik-teknik imajiner.

Anak akan mengerti bagaimana cara mengatasi rasa cemasnya. Dengan sebuah teknik permainan untuk mengukur kadar cemas mereka, ini akan jauh lebih membantu mereka dalam mengenali dan mengatasi kecemasan mereka.

4. Proses penelusuran informasi
Tahap selanjutnya adalah proses menggali informasi dari anak. Pada tahap ini proses penggalian informasi bisa didampingi oleh figur-figur yang “ramah anak” sehingga figur-figur ini bisa membantu mereka, saat anak dihadapkan pada situasi formal layaknya orang yang telah dewasa.

Situasi formal, kaku layaknya persidangan pengadilan untuk anak-anak bukanlah situasi yang nyaman.

Proses ini diharapkan dilakukan dengan hati-hati agar anak menjadi tetap merasa “aman” dan tidak terintimidasi. Kita harus peka terhadap ekspresi yang dikeluarkan oleh anak.

Proses-proses wawancara bisa dilakukan dengan cara-cara selain tatap muka langsung. Misalnya dengan menggambar, bercerita dengan menggunakan boneka tangan, figur-figur mainan hewan dan lain sebagainya.

Hal ini diharapkan bisa mengurangi ketegangan dan stress atau rasa intimidasi yang dirasakan oleh anak tersebut.

Perlu diingat, kejelian dalam melihat ekspresi emosi, perilaku anak sangat penting. Jangan ragu untuk melakukan penghentian penelusuran jika anak mengalami ketidaknyamanan.

Keempat proses tersebut harus diikuti validasi emosi dan konfirmasi emosi dari anak. Jika mereka telah mengungkapkan kejadian-kejadian traumatis tersebut, pastikan hal itu tidak menimbulkan kecemasan baru. 

Pastikan anak menutup tahapan ini dengan perasaan bahagia, perasaan aman. Bisa dengan menggambar, cerita, atau kode (simbol) yang memastikan mereka dalam keadaan tetap aman.

Memastikan menutup sesi penelusuran informasi terhadap anak-anak korban kekerasan ini dengan perasaan aman, bahagia.

Semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat.

Referensi:
1. Saat Pandemi Ada 700 Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan di Jatim, Terbanyak Pelecehan Seksual (Kompas.com)

2. Kharismawan, Kuriake. 2007. Pendampingan Psikologis pada Anak yang Mengalami Kekerasan. Semarang. CTR - Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun