Bicara soal ketangguhan seseorang dalam menghadapi hidup, pasti tidak lepas dari pengalaman-pengalaman di masa kecil yang dihadapinya, yang dilaluinya, yang dijalaninya.
Saya mengamati dan menganalisa fenomena ini dalam kehidupan saya, dan tak jarang, terjadi juga di dalam lingkup kehidupan yang mengelilingi sepanjang perjalanan hidup saya.
Ada masa dimana saya mengalami kehidupan yang sangat nyaman, seolah, isi dunia ini semuanya malaikat dan orang-orang yang sealur (naiiif banget, ya), orang-orang yang mendukung, orang-orang yang sayang dengan kita, lalu tiba-tiba terperanjat kaget ketika menemui “ada yang tak seirama”: sarkastik, selalu memiliki ambisi menaklukan, tak sepemahaman, cenderung bermusuhan, berpotensi selalu melukai, dan sebagainya.
It was a long ago……
Seorang Ibu cantik, istilahnya “mamah muda” kalo sekarang, ya. Beliau memiliki anak yang rupawan juga seperti dirinya, bocah perempuan berusia 4 tahun dengan segala talenta hebat yang dimiliki.
Ibu jelita ini bertanya, “Bolehkah kita mulai mengenalkan “fenomena kesulitan atau tantangan” hidup sejak dini kepada anak, sehingga mereka bisa tumbuh dengan tangguh?”
Menarik sekali pertanyaan ini…
Seorang sahabat dekat yang sudah ditinggal ayah terkasih selagi dia kecil. Hal itu menjadikannya tumbuh hanya bersama Mama, the one and only, sosok orang tua yang dekat dan dominan mempengaruhi kehidupan sahabat saya ini.
Dia tumbuh menjadi seseorang yang sangat kuat, saya gak pernah lihat dia menyerah kala menghadapi “ujian” hidup. Masalah menjadi gairah. Hidupnya bak grafik penjualan yang selalu mengalami kemajuan.
Dia memang bukan Tuhan, ada kalanya mengeluh dan bahkan meneteskan air mata, wajar lah, ya, manusiawi.. Tetapi setelah momen curhat terjadi, beberapa hari kemudian, eemejiiingggg, dia datang dengan menceritakan, bahwa masalah itu justru sudah takluk di tangannya.
Contoh lain, pengalaman perpisahan kedua orang tuanya selagi remaja, memaksa kawan saya ini berjualan kosmetik saat duduk di bangku sekolah menengah, untuk biaya sekolah.
Saat kami jajan di kantin, makan siomay, dia sibuk packing orderan kosmetik yang akan dikirimkan saat sepulang sekolah kepada customer-nya.
Masa berganti, saat ini dia sangat sukses berbisnis dengan memilih bidang kecantikan dan properti. Saat masa-masa sulit tiba, dia menjadi sosok yang sangat tangguh sekaligus gigih mempertahankan bidang bisnisnya ini. Luar biasa.
Beliau seorang wanita yang sedang berada di puncak kariernya saat ini. Memiliki keluarga yang sangat harmonis, dan menjadi teladan bagi saya.
Dua contoh pengalaman hidup mereka, setidaknya mewakili puluhan bahkan ratusan atau malah tak terhitung pengalaman perjuangan kehidupan orang lain yang senada, yang saya hadirkan disini.
Pengalaman dua sahabat karib saya tersebut, dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang tentu tak mudah saat menjalani masa kecilnya.
Perjuangan sudah menjadi lakon hidup yang harus dijalani, sehingga kesulitan, masalah hidup, menjadi cemilan sehat yang biasa dikonsumsi.
Lalu bagaimana dengan kehidupan anak-anak yang tidak mengalami masa sulit di masa kecilnya? Bagaimana dengan anak-anak yang memiliki kehidupan “mulus”, cenderung minim masalah, kehidupannya dalam aman dan damai sejahtera? Tak pernah menghadapi kerumitan hidup?
Melanjutkan pertanyaan sang ibu jelita tadi.
Jika kita membangun sebuah rumah, peran penting dan mendasar adalah membuat pondasi kokoh terlebih dahulu, bukan? Konstruksi pondasi harus dibuat “tahan banting” dari liukan gempa, dan bencana lain. Jika mengabaikan, yang ada, ambyaarr.
Tabir kehidupan ini siapa yang tahu? Kalo kata kang Ebiet G. AD, “tanyakan pada rumput yang bergoyang…”
Ada naik, ada turun, ada pasang, ada surut, ada suka, tapi jangan lupa, ada dukanya juga. Ada sedih, ada senang, begitu selanjutnya…
Mempersiapkan sistem kewaspadaan akan nuansa hidup yang berbeda, sejatinya wajib dilakukan. Kita sebagai orang tua, selalu menginginkan yang terbaik untuk anak.
Setidaknya kita wajib membekali mereka, bahwa hidup tak selalu mulus, langit tak selalu biru, jalan tak semuanya berkontur seperti kontur jalur jalan tol, yang rata, kisah perjalanan hidup tak selalu menyenangkan.
Hidup juga bisa dijejali padas karang yang terjal, kerikil yang tajam-menghujam, onak duri yang berpotensi melukai beningnya hati, hingga peristiwa kedukaan yang mungkin saja menjadi sebuah area tumbuhnya akar kepahitan yang bisa menghancurkan pondasi bangunan kepribadian dan rusaknya konsep diri positif.
Mengenalkan mereka pada realita hidup nyata, bisa dibangun sejak dini, asalkan mereka sudah mengerti konsep sebaliknya. Mereka juga harus mengecap indahnya sisi baik, cantiknya pengalaman masa kanak-kanak, menyenangkannya hidup.
Mereka juga tetap harus paham itu, jika tidak, mereka akan bisa berpotensi mengulangi hal itu dalam kehidupan dewasanya. Potret buram kehidupan yang justru akan dilukiskan.
Berikut ini beberapa aktivitas yang bisa menjadi referensi sarana melatih mereka :
Sesekali bisa ajak anak-anak melihat realita kehidupan di dalam panti asuhan dan memberikan dorongan untuk berbagi, hal ini bisa menjadi salah satu ikhtiar mengenalkan hidup seutuhnya pada anak.
Pilihan sarana “realita kehidupan”, bisa disesuaikan dengan lingkup kehidupan. Intinya mencari situasi “kontras” yang bisa dijadikan pelajaran ketangguhan hidup.
Memberikan tugas-tugas rutin pada anak di rumah, dan tidak menggantungkan tugas rutin ini pada asisten rumah tangga atau yang lain. Hal ini juga bisa menumbuhkan empati dan rasa solidaritas pada anak, disamping menanamkan tanggung jawab. Ajak anak juga memahami, hidup tidak hanya mengecap enaknya melulu.
Ada usaha, tugas dan hal lain juga yang harus dilakukan.
Saat saya kecil, Bapak saya, sering membawa saya berjalan-jalan. Salah satu pengalaman yang saya dapatkan adalah saat melihat kehidupan para penarik becak di salah satu daerah di dekat tempat tinggal saya.
Bapak mengatakan, mereka (para penarik becak tersebut) harus tangguh, walau hujan lebat, panas terik, tetap harus mengayuh becaknya, demi apa? Demi anak-anak dan keluarganya di rumah, mereka tetap harus dapat makan dan hidup.
Demi anak-anak mereka, mereka tidak akan putus asa, sembari memberi petuah, “.. kamu pun harus peduli dengan mereka, besok saat kamu dewasa, berikan juga bagian berkat untuk mereka dan orang-orang yang membutuhkan dari jerih payahmu, itu akan membantu..”
Memberi pengalaman inderawi dan penjelasan akan membuat anak-anak kita mengembangkan kapasitas kehidupan. Antisipasi akan timbul untuk menghadapi “ketidaksempurnaan hidup”.
Memberikan tantangan-tantangan pada anak sesuai dengan level usianya juga akan melatih mereka memiliki daya juang. Oh ya, jangan lupa, memberikan rambu-rambu, kegagalan dan keberhasilan adalah satu paket pembelajaran dalam hidup.
Tak masalah dengan kegagalan karena intinya bukan itu. Tapi meresponi kegagalan dan keberhasilan secara benar dan proporsional. Gagal berarti harus mencoba lagi. Tak perlu sedih berkepanjangan.
Berhasil berarti belum selesai, karena ada tantangan berikutnya pasti. Tak perlu menjadi pongah, tak juga menjadi lekas bangga, dan tetap bersyukur, karena dua pengalaman itu memperkaya pengalaman hidup yang dapat dibagikan kepada orang lain sebagai sebuah pembelajaran.
Ibu yang jelita, kiranya dan berharap hal ini dapat membantu..
Bersama kita mendampingi putra dan putri kita mengarungi siklus hidup ini, sampai pada akhirnya, melepas mereka untuk mengalami prosesnya itu sendiri.
Kita sebagai orang tua tak akan ada selalu di sisi mereka, kita tak akan bisa senantiasa menjadi penolong nyata untuk mereka selamanya, mereka pun harus belajar untuk proteksi diri mereka sendiri dan menjadi lebih tangguh dari sebelumnya.
Mari bersama membekali mereka...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H