"Dia sering membantu keluarga saya, mengapa orang sebaik dia pergi dengan cepat?"
"Dia tidak pernah menolak sekalipun, saat saya minta pertolongan darinya, saya sangat kehilangan dia?"
Atau...
"Saya masih menyimpan kesal padanya, dia selalu berbuat iseng dan mengganggu saya, saya menyesal, tidak membereskan masalah ini sebelum dia pergi meninggalkan dunia.."
"Dia sering sakiti hati saya..."
Atau bahkan, sedikit sekali orang yang datang menghadiri prosesi pemakaman kita.
Kira-kira demikian prolog yang menyertai refleksi hari itu.
Setelah refleksi selesai, saya terbiasa, meminta siswa dan siswi saya menulis dalam Living Book mereka, evaluasi apa yang bisa didapatkan dari refleksi "peti mati" yang baru saja dilakukan.
Begitu banyak coretan, mulai dari ingin memperbaiki hubungan persahabatan dengan teman, sampai rencana untuk memperbaki perilaku kepada orang tua dan guru, sekaligus menjaga sikap kepada saudara, baik kakak maupun adik.
Ada juga tulisan evaluasi yang mengungkapkan betapa ingin menjadi lebih berguna bagi orang lain, menjadi manfaat untuk orang lain.
Hal ini pun menjadi sebuah refleksi berulang kali bagi saya pribadi. Terlebih ketika, menghadiri sebuah prosesi pemakaman, saat momen melihat jenazah terakhir kali, saya sering mengingatkan diri dan melakukan self talk, "Ingat, Nita, suatu saat, giliran kamu yang tertidur disana..."