Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Refleksi "Peti Mati"

23 Mei 2020   07:53 Diperbarui: 23 Mei 2020   07:49 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi peti mati / sumber : kompas.com

Kembali dalam sebuah kelas karakter di sekolah kami beberapa waktu lalu. Saya mengajak siswa dan siswi untuk me-refleksikan sebuah perjalanan hidup dari sebuah bahan refleksi pengalaman pribadi yang pernah saya alami.

Bahan refleksi ini saya dapatkan bertahun-tahun lalu, semasa SMA, dalam sebuah camp pelatihan kepemimpinan di sebuah daerah di Jawa Barat.

Saat itu, kami diminta, untuk berjalan menghampiri sebuah peti mati, dan melongok ke dalamnya, serta membayangkan, bahwa yang ada di dalam peti mati tersebut adalah kami masing-masing oleh seorang coach dalam pelatihan tersebut.

Kami diminta, membayangkan sebuah prosesi pemakaman diri kami. Saat itu kami juga diminta membayangkan, bagaimana respon orang-orang yang datang ke pemakaman kami tersebut. Kira-kira, demikian singkatnya, bahan refleksi yang saya bagikan hari itu.

Mari kembali ke dalam kelas karakter, di sekolah kami. Saat itu saya memberikan prolog, dimana prolog itu membahas mengenai, tidak ada satu pun yang abadi di dunia, tiap manusia, akan menunggu gilirannya masing-masing untuk menghadap kepada Sang Khalik.

Saya meminta siswa dan siswi untuk dapat membayangkan, jika saat itu adalah saat dimana giliran kita untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Kita ada di dalam peti mati, kita sudah terbujur kaku. Lalu, dalam pemakaman tersebut, ada orang-orang yang datang melayat kita.

Saat refleksi itu, saya meminta mereka untuk membayangkan demikian:

Apakah banyak yang melayat kita?

Respon emosi seperti apa yang akan orang-orang tersebut tampilkan? Apakah mereka sedih dengan kepergian kita? Apakah mereka shock dengan meninggalnya kita? Atau biasa-biasa saja? Atau malah sebaliknya, mereka sangat bahagia dengan kepergian kita tersebut untuk selama-lamanya?

Kata-kata apa yang terbayang di benak kita, saat orang-orang tersebut mengenang kita?

"Orang ini sangat baik..., mengapa dia pergi secepat ini?"

"Dia sering membantu keluarga saya, mengapa orang sebaik dia pergi dengan cepat?"

"Dia tidak pernah menolak sekalipun, saat saya minta pertolongan darinya, saya sangat kehilangan dia?"

Atau...

"Saya masih menyimpan kesal padanya, dia selalu berbuat iseng dan mengganggu saya, saya menyesal, tidak membereskan masalah ini sebelum dia pergi meninggalkan dunia.."

"Dia sering sakiti hati saya..."

Atau bahkan, sedikit sekali orang yang datang menghadiri prosesi pemakaman kita.

Kira-kira demikian prolog yang menyertai refleksi hari itu.

Setelah refleksi selesai, saya terbiasa, meminta siswa dan siswi saya menulis dalam Living Book mereka, evaluasi apa yang bisa didapatkan dari refleksi "peti mati" yang baru saja dilakukan.

Begitu banyak coretan, mulai dari ingin memperbaiki hubungan persahabatan dengan teman, sampai rencana untuk memperbaki perilaku kepada orang tua dan guru, sekaligus menjaga sikap kepada saudara, baik kakak maupun adik.

Ada juga tulisan evaluasi yang mengungkapkan betapa ingin menjadi lebih berguna bagi orang lain, menjadi manfaat untuk orang lain.

Hal ini pun menjadi sebuah refleksi berulang kali bagi saya pribadi. Terlebih ketika, menghadiri sebuah prosesi pemakaman, saat momen melihat jenazah terakhir kali, saya sering mengingatkan diri dan melakukan self talk, "Ingat, Nita, suatu saat, giliran kamu yang tertidur disana..."

Banyak pertanyaan dan pernyataan saat saya mendoakan keluarga dan mendoakan proses pemakaman jenazah yang akan dikebumikan tersebut. Saat menghadiri proses pemakaman, itu pun saat evaluasi habis-habisan terhadap diri saya.

Biasanya saya menguliti diri saya, bagaimana hidup ini sudah saya maknai. Jelas sekali baaanyaaaakkk hal yang masih terus harus dibenahi disana dan disini.

Pelajaran hidup dari sebuah nilai refleksi peti mati ini, terus saya bawa hingga kini. Tidak akan pernah ada yang tahu, kapan waktunya tiba. Berjaga-jaga senantiasa merupakan salah satu pilihan yang bisa diambil.

Kematian bukan pilihan hidup. Kematian mutlak terjadi pada setiap insan manusia. Ketika mengalami perpisahan untuk selama-lamanya dengan Ayahnda terkasih, menjadi sebuah titik, dimana saya menyadari, tidak akan ada yang abadi di dunia ini.

Sesayang-sayangnya kita dengan orang yang kita kasihi, kematian tidak akan menghalangi, kita pasti berpisah juga dengan mereka. Saya pribadi, berpendapat, nampaknya tidak akan pernah ada kata siap, ditinggalkan orang-orang yang kita kasihi. Tetapi itu merupakan garis yang pasti akan dialami setiap manusia yang hidup di dunia ini.

Saya selalu memberi perenungan ini, dalam sesi kelas karakter kami. Biasanya memberikan topik refleksi ini di awal dan di akhir sesi belajar di sepanjang semester pembelajaran.

Relevan untuk memberikan sinyal warning baik bagi diri saya pribadi dan siswa-siswi. Refleksi sebuah peti mati ini menjadi sebuah evaluasi diri, sudah dimana kita, sudah bagaimanakah kita dalam menjalani dan memaknai hidup. Hal apa yang masih perlu dibenahi? Apakah masih banyak hal yang perlu dibereskan dalam hidup? Koneksi dan silaturahmi dengan siapa yang perlu diperbaiki?

Hidup ini merupakan anugerah dan kesempatan yang masih diberikanNya pada kita. Saya sering mengingat sebuah lagu dari sebuah buku pujian NKB (Nyanyikan Kidung Baru), "Sudahkah Yang Terbaik Kuberikan?" Sebuah pujian yang terus bertanya pada saya. Pembelajaran hidup terus masih akan berlangsung. Evaluasi bagi saya dan kita semua, seperti refleksi peti mati tersebut diatas. Bagaimanakah kita?

Demikian sesi akhir refleksi peti mati di artikel ini.

Melalui kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan Selamat Idul Fitri 1441 H, mohon maaf lahir serta batin untuk Kompasiana dan segenap Kompasianers. Mohon dimaafkan jika banyak sekali kesalahan selama bersilaturahmi di Kompasiana.

Teriring doa, semoga momen lebaran kali ini, Kompasianers tetap dalam lindungan, penyertaan dan kesehatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun