Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yuk, Teropong Nilai dari Semangkok Kolak Pisang Hangat

16 April 2020   08:51 Diperbarui: 16 April 2020   11:00 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Semangkok Kolak Pisang : Dok. Pribadi/ Yunita Kristanti

Selepas menyajikan kudapan favorit keluarga kemarin sore, terbersit beberapa ide untuk mengemas tulisan yang bisa saya bagikan, kali ini dalam alur pembelajaran karakter. Gagasan semai benih budi pekerti melalui artikel untuk siswa-siswi saya selama proses belajar dari rumah, sebuah prioritas yang penting.

Empat pekan sudah dijalani oleh kita semua dalam ranah pendidikan. Mengemas sebuah pembelajaran karakter jarak jauh memang bukan hal mudah. Walau demikian, bukan berarti tidak bisa untuk dikerjakan.

Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalankan. Ketika menulis dan mengajar merupakan sebuah ungkapan wujud syukur kepada sang Khalik yang keluar dalam balutan kata passion, semua rasanya lebih ringan untuk dilakukan karena terselip "adonan" cinta di dalamnya.

Alih-alih menanggapi keluhan ini dan itu dalam menyikapi pembelajaran online yang saat ini sudah terjadi, bagi saya tetap fokus dalam berikhtiar serta memberikan bagian terbaik dalam diri untuk berkontribusi secara konsisten jauh lebih penting.

Waktu terus berjalan, usia mereka (siswa dan siswi saya serta segenap siswa di penjuru nusa) pun tak mengenal pause, so ...live must go on and study from home still continue.

Ide belajar mengenai nilai dari sesuatu yang ada di sekitar kita adalah fokus tangkapan di artikel kali ini. Bersama semangkok kolak pisang hangat akan menemani pojok baca kita.

Ya, kolak pisang, berbeda dari artikel yang berselimutkan nama penganan enak hari Minggu kemarin, yang membahas mengenai tulisan. Bisa disimak di kompasiana.com/nitakristantinoer 

Baiklah saya mulai saja :

1. Teropong pertama pada suapan pertama si kolak pisang hangat.

Setiap suapan yang memenuhi mulut yang bercampur dengan enzim-enzim pencernaan seolah ingin mengatakan bahwa kita gak bisa hidup sendiri.

Pisang, kolang-kaling, santan kemasan, serta gula aren yang rasanya bikin hasrat ingin nyuap terus itu, kesemuanya merupakan hasil kontribusi orang lain di dalam semangkok kolak hangat yang tersaji untuk keluarga.

Disadari atau tidak, hal ini seyogianya menjadi sentilan saat orang lain membutuhkan sentuhan kasih kita.

Sejatinya hidup kita pun memiliki kontribusi tersebut di dalam kehidupan orang lain. Beberapa kasus penolakan jenazah covid- 19 merupakan sebuah bahan refleksi buat kita.

Saat sakit dan akhirnya terjemput maut diluar kendali mereka (siapa yang mau sakit dan tak gentar mati?), setidaknya akan melapangkan jalan kubur mereka, mari lebih bijak menyikapi. Ijin yang kita beri, doa yang kita lantunkan setidaknya menjadi sebuah kontribusi yang membekali mereka untuk beristirahat di haribaan-Nya.

2. Teropong kedua di suapan kedua si kolak pisang hangat.

Inisiatif untuk menyajikan kolak hangat datang dari sebuah rasa cinta untuk keluarga dengan menyajikan yang terbaik. Inisiatif untuk membahagiakan dan dorongan untuk melihat senyum dan rasa puas karena sajian terbaik bisa dinikmati merupakan sebuah drive tersendiri.

Sajian berita mengenai aksi kebaikan yang terjadi saat pandemi ini setidaknya dapat membungkam kebencian sampai makian terhadap pihak-pihak yang punya andil dalam memegang kebijakan di republik ini.

Jika memang bisa memberikan andil dalam memberi bantuan, nyatakan itu melalui aksi positif yang dapat memberi kesejukan tersendiri di tengah bumi dan ratapannya saat ini.

3. Teropong ketiga di suapan selanjutnya si kolak pisang hangat.

Menyajikan sajian untuk keluarga bagi saya merupakan sebuah unconditional love yang jika dinikmati dengan selaksa pujian akan diterima dengan membumi, namun bila sajian tersebut tidak memberi apresiasi apapun terhadap penyaji, tidaklah mengapa, karena fokusnya tidak lagi pada sang penyaji tetapi kepada yang diberikan sajian.

Feel unconditional love juga merupakan hal penting yang saya pelajari akhir-akhir ini di tengah pandemi. Penting sekali untuk saling bergandengan tangan di saat pandemi ini, bukan untuk sebuah pujian atau sanjungan tetapi demi sebuah solidaritas dalam rasa humanisme.

Duka ini duka bersama, ini akan menjadi sebuah kenangan hangat (seperti enaknya kehangatan dalam kolak pisang di sebuah mangkok yang kita sajikan) kala kita menyudahi babak ini.

Anak-anak kita butuh jejak kebaikan untuk mengembangkan karakternya. Model apa yang akan kita wariskan sebagai cetak biru karakter mereka? Sila menjawab sambil menikmati suapan kolak pisang hangat selanjutnya.

4. Teropong keempat di suapan terakhir si kolak pisang hangat.

Tibalah di suapan terakhir, memberi sebuah taste yang mungkin menjadi akhir dari sebuah pengalaman kita makan kolak. Tetapi juga, bisa jadi tidak, karena masih ada suapan-suapan kolak di next day beserta pengalaman nilai berharga lain yang ingin disampaikan.

Rasa syukur menjadi penutup rasa dalam semangkok kolak ini. Ungkapan rasa syukur akan membuat kita lebih mampu menghargai orang lain. Kembali saya ulas mengenai tindakan stigmatisasi.

Kali ini bukan terhadap difabel namun kepada saudara-saudara kita yang telah sembuh dari derita korona. Kepada tenaga medis yang terlibat langsung dalam berjibaku memenangkan sebuah pertandingan hidup melawan korona.

Saat kita masih diberi nikmat hidup, sudahkah kita mengucap syukur dengan lebih menghargai orang lain yang dihadirkan di hidup kita. Kita yang hidup ini pun akan pulang satu saat nanti.

Entah dengan ending skenario yang seperti apa, dan kapan waktunya. Kenyataan ini berharap akan memantik sebuah kesadaran baru untuk bersikap lebih wise.

Sebuah tindakan kasih kita akan mampu membantu saudara-saudara kita ini pulih dari kondisinya. Masihkah kita mau terus mendiskriminasi? Masihkah aksi stigmatisasi ini dilanjutkan? Masihkah kita menolak mereka dengan aksi rasis? Biarlah itu menjadi sebuah perenungan bagi saya dan kita semua.

Demikian sebuah ulasan bermuatan nilai edukatif yang saya analogikan dengan semangkok kolak pisang hangat yang tersaji untuk memberi manfaat pada orang-orang yang kita sayangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun