Anak-anak kita butuh jejak kebaikan untuk mengembangkan karakternya. Model apa yang akan kita wariskan sebagai cetak biru karakter mereka? Sila menjawab sambil menikmati suapan kolak pisang hangat selanjutnya.
4. Teropong keempat di suapan terakhir si kolak pisang hangat.
Tibalah di suapan terakhir, memberi sebuah taste yang mungkin menjadi akhir dari sebuah pengalaman kita makan kolak. Tetapi juga, bisa jadi tidak, karena masih ada suapan-suapan kolak di next day beserta pengalaman nilai berharga lain yang ingin disampaikan.
Rasa syukur menjadi penutup rasa dalam semangkok kolak ini. Ungkapan rasa syukur akan membuat kita lebih mampu menghargai orang lain. Kembali saya ulas mengenai tindakan stigmatisasi.
Kali ini bukan terhadap difabel namun kepada saudara-saudara kita yang telah sembuh dari derita korona. Kepada tenaga medis yang terlibat langsung dalam berjibaku memenangkan sebuah pertandingan hidup melawan korona.
Saat kita masih diberi nikmat hidup, sudahkah kita mengucap syukur dengan lebih menghargai orang lain yang dihadirkan di hidup kita. Kita yang hidup ini pun akan pulang satu saat nanti.
Entah dengan ending skenario yang seperti apa, dan kapan waktunya. Kenyataan ini berharap akan memantik sebuah kesadaran baru untuk bersikap lebih wise.
Sebuah tindakan kasih kita akan mampu membantu saudara-saudara kita ini pulih dari kondisinya. Masihkah kita mau terus mendiskriminasi? Masihkah aksi stigmatisasi ini dilanjutkan? Masihkah kita menolak mereka dengan aksi rasis? Biarlah itu menjadi sebuah perenungan bagi saya dan kita semua.
Demikian sebuah ulasan bermuatan nilai edukatif yang saya analogikan dengan semangkok kolak pisang hangat yang tersaji untuk memberi manfaat pada orang-orang yang kita sayangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H