Idealnya, selesai S1 biasanya orang akan bekerja sejurus dan serius, tidak berpindah-pindah. Namun, Saya adalah perempuan petualang profesi. Pekerjaan yang saya tempuh beda-beda. Branding yang saya pakai juga berbeda-beda, setiap tahunnya. Tentu banyak suka duka dan juga pembelajaran.Â
Namun, satu hal yang pasti saya tidak pernah takut dipecat dari pekerjaan dan saya senang mengerjakan pekerjaan tersebut. Bila pekerjaan sudah bertentangan dengan hal yang saya yakini dan merasa tidak nyaman, saya akan beralih. Apa saja profesi saya sejak lulus hingga hari ini?
1. Guru Daycare dan Staff
22 Â Agustus 2015 jatuh pada hari sabtu, saat itulah saya di wisuda. Seninnya saya langsung masuk kerja sebagai guru di penitipan kampus, daycare. Sebetulnya pekerjaan tersebut sudah saya lakoni semenjak mahasiswa. Pekerjaan sampingan, mengajar di Daycare adalah mengajar selama 45 menit sampai 60 menit setiap harinya. Anak-anak yang diajarkan berumur 2 tahun sampai 5 tahun.Â
Mengajar di Daycare punya kurikulum senin akan mengajar apa, selasa, hingga sabtu. Yang ditangani adalah anak-anak sehingga harus siap dengan segala energi dari mereka. Beberapa bulan bekerja, terjadi kekosongan di bagian administrasi sehingga saya dijadikan bagian administrasi.
Bagian administrasi sungguh sebuah tantangan yang lumayan sebab selama kuliah di jurusan Kebudayaan Islam jauh sekali dengan urusan perkantoran mengurusi bagian administrasi. Saya belajar keras selama dua minggu dan ketika staff lama mengundurkan diri karena menikah, saya menangganinya.Â
Ketika mengurusi bagian administrasi, saya pernah berdebat dengan salah satu orangtua siswa daycare yang tidak membayar selama tiga bulan. Ayah dari si anak tersebut sempat mengeluarkan kata-kata "sudah tidak cantik, hitam, belagu pula. Apa salah fisik saya? Saya hanya melakukan apa yang menjadi kewajiban saya.Â
Yang menyenangkan adalah saya mendapatkan rekan kerja yang mendukung saya dengan baik, teman kerja, teman makan dan teman berbagi suka duka.
2. Menjadi Pengajar Muda
Sebetulnya ini semacam kuliah kerja nyata hanya saja setahun dan sendirian di Desa Serta di kecamatan. Dikirim untuk menjadi pembelajar sekaligus berkonstribusi untuk ibu pertiwi. Mulia sekali bukan? Tapi sejatinya ini adalah titik balik dari semua profesi yang saya jalani, inilah titik yang memporak-poranda semua profesi impian. Lantas bergeraknya berubah, lantas segalanya berubah.
Setahun bekerja sebagai guru dan fasilitator di Desa Baya, Sulawesi Tengah. Mempunyai keluarga angkat, belajar bahasa saluan, bahkan sampai memakai baju adat mereka untuk pembelajaran adalah satu tahun yang tidak pernah terbayangkan bagi saya. Saya benar-benar merantau dan merasakan duka luka serta dunia dogeng yang penuh gegap gempita.Â
Sebagai perempuan, ketika bekerja malam hari dan beberapa orang mabuk sembarangan menegur, rasanya takut bukan main tapi saya harus kuat. Meski pada suatu malam saya menangis hingga bersembunyi di ranjang karena orang mabuk menerobos rumah saya tinggal, betapa ketakutannya.Â
Profesi ini adalah setahun yang berarti dan mengantarkan saya pada profesi selanjutnya yang seru tidak terbayangkan.
3. Jadi guru honorer
Berbekal pengalaman satu tahun menjadi guru, ketika pulang kampung mendapatkan pekerjaan di luar daerah lagi. Hanya saja, orangtua tidak mengizinkan akhirnya nekat melamar pekerjaan jadi guru agama islam padahal ijazahnya bukan keguruan.Â
Sekolah yang dituju kebetulan sedang kekurangan guru agama Islam sehingga satu semester saya bekerja di sana. Selama bekerja sebagai guru honorer, saya mengelola beberapa kegiatan kerelawanan di kabupaten. Salah satunya Kelas Inspirasi Aceh Barat Daya 1 dan membangun pustaka bergerak Sigupai Mambaco.Â
Perjalanan dari rumah saya ke sekolah menempuh waktu 30 menit, sekolah tidak mampu membayar banyak guru honorer hanya untuk bensin selama 15 hari untuk mengajar selama satu semester, bayangkan. Namun, di sini saya tau bahwa jadi guru honorer dan di desa adalah hakikatnya seorang guru dicoba. Anak-anak sering membawa pisang, jeruk, keripik dan apa saja hasil kebun dititipi orangtuanya, katanya untuk diberikan pada bu guru. Saya merasa terikat secara emosional. Meski akhirnya mencari pekerjaan sampingan untuk bensin motor tetap tidak ingin meninggalkan sekolah.Â
Hanya saja, kabupaten kami melakukan pemutihan, honorer dilarang, tenaga kontrak dikurangi agar kerja PNS maksimal sebab dibayar negara. Saya salah satu yang terusir karena bukan keguruan dan honorer. Akhirnya saya berhenti menjadi guru.
4. Humas Sekolah Swasta
Sebetulnya, sejak pulang dari Sulawesi saya sudah diminta ke sekolah ini bahkan sejak 2015, seminggu setelah wisuda. Hanya saja, saya sadar diri bukan jurusan pendidikan dan ketika itu ilmu saya kurang sekali. Jika saya ikut bergabung maka dampak yang hanya ciptakan sungguh tidak ada. Saya hanya akan menjadi para pengikut yang bekerja untuk menerima gaji di akhir bulan.Â
Setelah tidak bisa jadi guru honorer akhirnya saya menerima ajakan kepala sekolah swasta tersebut untuk bekerja di sana. Awalnya, kepala sekolah binggung saya mau diberi pekerjaan apa, sangking sudah terisi semua tapi saya dipaksa masukkan di pertengahan semester.Â
Sekolah ini tempat bertumbuh, bertemu dengan rekan kerja yang baik-baik dan mengigatkan kebaikan terutama hafalan surat annaba yang selalu diulang-ulang diingatkan untuk segera disetor. Berlomba dalam kebaikan.
5. Guru mengaji
Yang tidak pernah terbayangkan adalah menjadi guru mengaji, sebab rasanya masih sangat kurang dalam hal membaca Quran. Aduh, siapa yang akan mengajari para pengajar? Syukurnya, tempat kerja ini menyediakan pengajar untuk para pengajar. Namun, karena sering sekali absen bekerja di sini hanya bertahan setahun.Â
6. Fasilitator Sekolah Sehat
Pernah punya cita-cita jadi orang bidang kesehatan, hanya saja tidak terwujud. Namun, benang-benang kehidupan seolah bertaut, dikirim menjadi Fasilitator sekolah sehat dari sebuah perusahaan di Kota Malang pula. Aduh, rasanya seperti mimpi. Ada 10 sekolah bersama seorang kawan, setiap hari berkeliling dan mengadvokasi soal sekolah sehat, anak sehat, lingkungan sehat dan makanan sehat. Banyak strategi difikirkan agar sekolah mau mengikuti berbagai saran dan fasilitator. Tantangan tersendiri, hidup di atas motor. Namun, sebelum sampai waktu harus selesai kontrak karena virus corona. Semua orang dipulangkan ke kampung masing-masing.
7. Kontrak di P2TP2A
Perlindungan perempuan dan anak? Aduh, tidak pernah menyangka bisa bekerja di sini. Meski agenda kerja baru menyelesaikan sosialisasi tentang pencegahan kekerasan dj sekolah lantas terkena sakit bils palsy.Â
8. Jurnalis
Pekerjaan menulis ini sebetulnya sudah dilakoni sejak tahun 2015 begitu menyelesaikan pendidikan jurnalistik. Namun, sebelumnya tidak terlalu diperdulikan apalagi sampai punya organisasi pers. Tahun 2021 malah terpilih jadi bendahara Pers Tengku Pekan. Organisasi pers di Aceh Barat Daya. Aduh, besar nih tanggungjawabnya.
Begitulah, ada delapan pekerjaan besar yang saya lakukan setelah menyelesaikan sarjana. Sebetulnya ada pekerjaan lain seperti mengajar privat, mengajar seni dan lain-lain hanya saja seringnya tidak ada lembaga. Saya percaya bahwa tetap bekerja dan menikmati pekerjaan, berani mengambil resiko adalah jalan hidup yang harus ditempuh dengan gagah berani oleh seorang perempuan yang barangkali dalam darah ini juga mengalir dari Cut Nyak Dien, pahlawan perempuan di Aceh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H