"Maafkan aku mak, terlalu lambat datang."
Mereka saling menangisi, Na mematung. Apa yang difikirkan oleh lelaki gila di hadapannya itu? Menikahi perempuan sakit yang saban sore menggigil.
"Berdirilah di gerbang kesakitan, pada teriakan yang bisa kudengar bahwa aku masih mendampingimu pada sakratulmaut yang Tuhan tentukan!" Ujar Li
"Halah, omong kosong. Saban sore aku berdoa ada lelaki gila yang mengucapkan kata serupa itu. Kenapa kau muncul?"
"Sebab aku cukup gila menurut Tuhan."
Pernikahan terlaksana sore berikutnya, semua orang desa bersuka cita. Teriakan-teriakan sore hari di pengobatan altenatif berurai ucapan selamat, sebab sore berikutnya Na sudah tidak diantar ibunya tapi diantar Li, mereka masih terus berusaha mengobati, sebab itu satu-satunya cara sebelum mati.
"Pada moncong maut sekalipun kau berdiri, aku mendampingimu. Aku berjanji dengan Tuhan bukan pada kau, saat mengucapkan kuterima nikahnya..."
Ucap Li
"Semoga Tuhan selalu menganugerahkan lelaki gila sejenis ini pada setiap perempuan yang mengigil takut kala sore hari" doa Na, lama dan dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H