Mohon tunggu...
Yunita Handayani
Yunita Handayani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu yang bahagia :) www.yunita-handayani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengalaman Mengajar Anak dengan Sindrom Asperger

5 Mei 2011   06:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_107501" align="aligncenter" width="640" caption="Sindrom Asperger"][/caption]

Apa yang anda ketahui tentang sindrom Asperger? Sekitar empat tahun yang lalu saya masih kuper dan tidak tahu apa-apa ketika tiba-tiba saya harus mengajar anak dengan sindrom tersebut.

Sebelum saya mulai mengajarnya, ibunya memberikan setumpuk hasil pemeriksaan psikologis dan setumpuk lagi artikel psikologis. Hasil pemeriksaan psikologis menunjukkan bahwa IQnya superior, tapi dia memiliki sindrom Asperger. Sindrom Asperger termasuk dalam spektrum autis tapi dalam skala yang menengah. Anak sebenarnya memiliki kecerdasan di atas rata-rata tapi memiliki masalah dalam sosialisasi dan komunikasi. Di antara tumpukan itu terselip satu artikel yang menarik dari sebuah majalah nasional, ternyata profilnya yang unik pernah ditampilkan di sana. Didan, begitu rupanya dia biasa dipanggil.Ini menjadi sebuah tantangan bagiku yang baru memiliki pengalaman mengajar selama satu tahun.

Didan memiliki kemampuan membaca cepat yang mengagumkan tapi dia tidak suka menulis, koordinasi otot-otot tangannya sangat lemah. Saya harus menghabiskan banyak waktu untuk memegang tangannya, melatih agar dia memiliki kekuatan untuk menulis, bahkan kadang saya harus menuliskannya sendiri.

Didan selalu tertarik dengan hal-hal baru, dia akan berlari ke arahku bila saya membawa suatu buku baru. " Bu Nita, buku apa itu, Bu Nita aku mau baca bukunya?" begitu katanya sambil mencob meraih buku itu sementara anak yang lain cuek saja.

Kemampuan memori Didan luar biasa, juga kemampuan verbalnya dalam menghafal kosa kata termasuk kosa kata bahasa asing. Tapi dia sangat sulit memahami konsep matematika dan menjawab pertanyaan pertanyaan logis atau yang bersifat memberi opini.

Didan memiliki perasaan sangat sensitif dan sangat peka terhadap bunyi. Pernah saya berbicara dengan sedikit keras memarahi teman sebangkunya, tiba-tiba dia menangis karena merasa bahwa saya telah memarahinya. Menangani Didan harus penuh dengan kelembutan, berbicara dengan suara keras akan membuat dia down dan kemudian menjadi menolak kita.

Keadaan Didan masih sangat labil. Bila kondisi fisiknya sedang turun karena sakit maka kondisi psikologisnya pun menurun. Bila kondisi psikologisnya sedang turun dia akan menjadi lebih malas untuk belajar, yang lebih parah adalah dia tidak bisa mengendalikan diri untuk buang air kecil. Beberapa kali dia ngompol di kelas dan aku harus mengganti celananya.

Tapi itu bukanlah seberapa....

Pernah satu kali dia berada dalam kondisi down. Ada satu pelajaran bahasa mandarin dengan native speaker dari China. Guru ini terkenal tegas (bisa dibilang galak). Hari itu dia mengajar dengan cukup keras dan beberapa kali membentak anak-anak. Dari jauh saya sudah melihat bahwa Didan mulai gelisah dan tak nyaman. Ingin saya menariknya menenangkan dia, tapi tentu saja aku tidak berhak.

Benar saja, Didan tiba-tiba buang air besar tanpa terkontrol. Segera saya menggandengnya ke kamar mandi. Bayangkan saja buang air besar anak umur 6 tahun, bukan cuma bayi berusia 6 bulan.Tidak ada guru lain yang mau mendekat waktu itu. Ada seorang guru yang berniat membantu, tapi baru sampai 3 meter dari kamar mandi dia sudah hampir muntah. Saya sendirian di kamar mandi bersama Didan. Menahan segala mual. Membersihkan kotorannya, memandikannya. Didan juga tampak sangat gelisah, saya berusaha menenangkannya dengan kata-kata lembut. Bila dia menolak untuk saya bersihkan tubuhnya maka keadaan bisa jadi lebih sulit. Saat itu saya belum punya anak, sama sekali belum punya pengalaman nyebokin bayi, apalagi anak berusia 6 tahun.

Seringkali saya harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan macam-macam dari murid-murid yang lain. "Mengapa Didan masih suka ngompol, kan udah gede?" "Mengapa Bu Nita sering banyak membantu Didan menulis, kita kok nggak dibantu?" "Mengapa Didan mudah menangis?" "Mangapa Didan nggak asyik kalau diajak bermain?" "Didan gila ya, Bu ?" Saya jelaskan bahwa Didan tidak gila tapi dia adalah anak istimewa. Ya, dia sedang sakit saat ini tapi dia istimewa. Saya tekankan tidak boleh ada yang mengejeknya di sekolah ini.

Saya bukan seorang guru malaikat. Saya sering mengeluh, saya sering merasa lelah, saya sering frustasi dengan keadaannya. Ingin sekali saya utarakan untuk lebih baik memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Tapi Didan terlalu istimewa untuk masuk ke SLB. Akhir tahun ajaran keadaan Didan menjadi lebih baik. Dia mulai bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Mulai bisa beradaptasi dengan situasi belajar di kelas. Tapi ayahnya dipindahtugaskan ke kota lain. Saya berpisah dengan Didan.

Apakah saya senang terlepas dari beban menjaga Didan? Tidak juga, ada rasa penyesalan juga di dalam hati. Seharusnya saya bisa menjadi guru yang lebih baik bagi Didan. Ada juga rasa kuatir di hati. Apakah sekolah dan gurunya yang baru akan dapat memahami kondisinya? Apakah dia akan dapat beradaptasi dengan baik?

Sekarang, hampir empat tahun berlalu, saya lost contact dengan Didan. Didan... di manapun kamu berada.... Bu Nita minta maaf sudah sering tidak sabar terhadap kamu, sudah sering mengeluh tentang kamu, Sebenarnya... kamu telah mengajarkan banyak hal pada Bu Nita, mengajar tentang kelembutan, mengajar tentang kesabaran, mengajar tentang indahnya kepolosanmu, mengajar tentang cinta....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun