Seringkali saya harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan macam-macam dari murid-murid yang lain. "Mengapa Didan masih suka ngompol, kan udah gede?" "Mengapa Bu Nita sering banyak membantu Didan menulis, kita kok nggak dibantu?" "Mengapa Didan mudah menangis?" "Mangapa Didan nggak asyik kalau diajak bermain?" "Didan gila ya, Bu ?" Saya jelaskan bahwa Didan tidak gila tapi dia adalah anak istimewa. Ya, dia sedang sakit saat ini tapi dia istimewa. Saya tekankan tidak boleh ada yang mengejeknya di sekolah ini.
Saya bukan seorang guru malaikat. Saya sering mengeluh, saya sering merasa lelah, saya sering frustasi dengan keadaannya. Ingin sekali saya utarakan untuk lebih baik memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Tapi Didan terlalu istimewa untuk masuk ke SLB. Akhir tahun ajaran keadaan Didan menjadi lebih baik. Dia mulai bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Mulai bisa beradaptasi dengan situasi belajar di kelas. Tapi ayahnya dipindahtugaskan ke kota lain. Saya berpisah dengan Didan.
Apakah saya senang terlepas dari beban menjaga Didan? Tidak juga, ada rasa penyesalan juga di dalam hati. Seharusnya saya bisa menjadi guru yang lebih baik bagi Didan. Ada juga rasa kuatir di hati. Apakah sekolah dan gurunya yang baru akan dapat memahami kondisinya? Apakah dia akan dapat beradaptasi dengan baik?
Sekarang, hampir empat tahun berlalu, saya lost contact dengan Didan. Didan... di manapun kamu berada.... Bu Nita minta maaf sudah sering tidak sabar terhadap kamu, sudah sering mengeluh tentang kamu, Sebenarnya... kamu telah mengajarkan banyak hal pada Bu Nita, mengajar tentang kelembutan, mengajar tentang kesabaran, mengajar tentang indahnya kepolosanmu, mengajar tentang cinta....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H