Penerapan sistem yang salah membuat keruskaan terjadi di berbagai lini kehidupan. Sistem demokrasi yang sudah jelas bathil (salah) dalam Islam dengan berbagai pemikiran yang diembannya, seperti sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme. Hal tersebut tentu berimbas kepada kondisi umat. Pemikiran umat menjadi tercemar, kemudian menyebar dan mencemari pemikiran keluarga. Meskipun tanpa cedera fisik, penderitaan mental yang dialami oleh setiap anggota keluarga pasti akan menyebar ke seluruh keluarga.
Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi negaranya menegakkan sistem demokrasi-kapitalis. Sistem ini menerapkan paham sekularisme di berbagai lini kehidupan masyarakatnya. Inilah yang menjadi akar persoalan dari semua permasalahan yang terjadi. Paham sekulerisme membuat kondisi manusia jauh dari fitrah penciptaannya. Demokrasi dengan paham sekulerismenya juga membuat rakyat yang mayoritas muslim jauh dari aturan Tuhan-nya. Justru, sistem demokrasi lah yang telah melarang umat Islam untuk tunduk kepada Allah SWT dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Akibatnya, negara sekuler selalu akan berbanding lurus dengan kebijakan yang bertentangan dengan aturan Allah SWT. Jika aturan Sang Pencipta yang sesuai dengan fitrah manusia ditiadakan, maka aturan yang diterapkan tentu bertolak belakang dengan fitrah dan secara otomatis akan menghasilkan kerusakan.
Keluarga merupakan institusi terkecil dalam sebuah masyarakat. Keluarga adalah awal sebuah generasi. Siapakah yang tidak menginginkan keluarga sakinah mawadah dan warahmah? Setiap orang pasti mendambakannya. Sedangkan keluarga yang ideal adalah keluarga yang kuat sehingga dapat menghasilkan generasi yang tangguh dan bahkan dapat membangun peradaban yang mulia.
Sebaliknya, tumbuh suburnya sekularisme yang ditopang oleh sistem demokrasi-kapitalisme dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara telah menghancurkan struktur keluarga ideal. Sekulerisme juga telah menyesatkan seluruh keluarga muslim. Keluarga adalah pilar utama negara, tetapi liberalisme dan sekulerisme yang mendukung kebebasan telah mengancam eksistensi keluarga.
Dengan munculnya berbagai kebijakan negara yang menghilangkan peran ayah sebagai pemimpin (qawwam) dan membebaskan perempuan untuk tidak terikat dengan aturan Islam, serta menggerus makna birrul walidain, maka sudah jelas akan menghancurkan sebuah keluarga. Rusaknya sebuah keluarga sama dengan menghancurkan agama Islam itu sendiri.
Allah Taala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At-Tahrim [66]: 6).
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, sudah selayaknya kita harus yakin bahwa hanya aturan Allah saja yang tepat untuk mengatur hidup umat manusia. Dengan demikian, yang kita butuhkan saat ini adalah tegaknya sebuah institusi negara yang bisa menerapkan seluruh aturan-aturan Allah, yakni Khilafah. Khilafah adalah bagian dari fungsi negara sebagai pengayom dan penyelenggara aturan kehidupan. Hal ini disebabkan fakta bahwa pemerintah dalam Khilafah bertugas menegakkan dan melaksanakan syariat Islam.
Tidak ada sistem lain selain Khilafah yang dapat menghasilkan orang-orang yang bertakwa dan selalu berpegang teguh pada hukum syarak. Individu-individu mulia inilah yang tumbuh menjadi orang-orang yang siap membangun keluarga dan peradaban gemilang. Selain itu, Khilafah senantiasa menjamin kontrol sosial dalam masyarakat, yakni dengan menumbuhsuburkan dakwah Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw., "Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad). Maka, negara Khilafah bertanggung jawab sepenuhnya untuk mendukung ketahanan keluarga.