Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekulerisme telah Merampas Potret Keluarga Ideal

11 Juli 2024   09:09 Diperbarui: 11 Juli 2024   09:10 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengutip laman resmi Kemenko PMK pada tanggal 30 Juni 2024, Menko PMK Muhadjir Effendy menyatakan bahwa keluarga merupakan elemen penting dan penentu kemajuan sebuah negara. Pernyataan itu ia sampaikan pada hari Sabtu, 29 Juni 2024, pada puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024, dengan tema "Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas". Akibatnya, katanya, pemerintah saat ini bekerja keras untuk membuat keluarga Indonesia yang berkualitas dan kompetitif.

Menurutnya, pemerintah menginginkan keluarga yang baik dan berkualitas sejak masa prenatal (masa sebelum kehamilan), masa kehamilan, dan 1.000 hari pertama kehidupan manusia. Intervensi dalam hal ini terutama ditujukan pada perempuan. Berawal dari remaja putri, dengan pemberian tablet tambah darah untuk memastikan mereka sehat dan siap hamil setelah menikah, bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, pengecekan kesehatan sebelum menikah, pengecekan HB darah, cek lingkar lengan, dan perawatan gizi untuk ibu dan bayi selama 1.000 hari pertama kehidupan.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas keluarga juga dilakukan dengan menyediakan fasilitas yang terstandar untuk memantau kesehatan dan gizi ibu dan bayi, seperti alat timbang dan antropometri, serta pelatihan gizi dengan staf yang terlatih. Ia juga menekankan pentingnya BKKBN untuk terus memantau keluarga Indonesia terkait upaya pemerintah untuk mempercepat penurunan stunting. Dia berharap angka stunting di bawah 20% sesuai SDGs pada tahun 2024.

Jika kita perhatikan dengan cermat, peringatan Harganas tahun ini tetap seremonial seperti tahun-tahun sebelumnya. Permasaahan keluarga yang terjadi di Indonesia sejatinya jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Karena masalah yang lebih parah dan tidak terungkap jauh lebih banyak, maka munculnya kasus dan krisis generasi yang berasal dari keluarga hanyalah fenomena gunung es.

Bagaimana tidak? Coba kita bayangkan bagaimana perempuan dan ibu memainkan peran sangat penting dalam sebuah keluarga. Oleh karenanya, berbagai masalah justru akan terjadi jika dirinya tidak ditempatkan dengan benar. Dengan kata lain, ketika seorang perempuan "dipaksa" keluar dari rumah untuk berkarier atau bekerja, posisinya sebagai tulang rusuk juga akan "dipaksa" menjadi tulang punggung. Perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga di rumah pasti akan terganggu. Padahal, hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah, tetapi tanggung jawabnya untuk mendidik dan menanamkan akidah kepada anak-anaknya merupakan kewajiban yang tidak bisa dikurangi atau bahkan ditinggalkan.

Ketika kaum perempuan banyak yang bekerja di sektor publik, keberadaan mereka akan mengurangi lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki. Hal ini tentu akan menghasilkan problem baru. Berkurangnya lapangan pekerjaan membuat laki-laki menganggur dan menciptakan masalah sosial bagi sebuah keluarga.

Remaja putri, yang akan menjadi ibu di masa depan, juga harus memahami bagaimana menjadi istri dan ibu berdasarkan iman dan ketakwaan. Jika mereka tidak melakukannya, mereka akan menghadapi banyak kesulitan. Kesulitan-kasulitan itulah yang dapat memperburuk kondisi kesehatan mental. Faktanya, saat ini banyak dijumpai ibu muda yang sering memperlakukan anaknya dengan buruk, menyiksa, melecehkan, atau bahkan tega membunuh anaknya sendiri.

Ditambah lagi dengan banyaknya kasus mom shaming. Hal ini membuat para ibu mengalami tingkat stres yang tinggi sebagai akibat dari berbagai kritik negatif tentang dirinya. Komentar negatif tersebut juga tentang bagaimana mengasuh dan mendidik anak-anak mereka, yang sebagian besar berasal dari anggota keluarganya sendiri.

Selain itu, kemiskinan struktural masyarakat merupakan penyebab utama masalah anak stunting. Pada saat yang sama, inflasi energi dan pangan sangatlah tinggi. Peningkatan harga berbagai bahan pangan terjadi hampir secara bersamaan. Kebutuhan akan makanan bergizi jelas tidak dapat dipenuhi oleh kondisi keuangan. Belum lagi pencemaran lingkungan yang begitu besar dan buruknya sanitasi membuat anak sering sakit sehingga peluang mengalami stunting pun makin tinggi. Semua hal itu butuh peran negara beserta seperangkat regulasinya untuk menanganinya.

Melihat berbagai kasus tersebut, apakah lantas konsep kesehatan reproduksi, pemberian tablet penambah darah, bimbingan sehari, serta penanganan stunting cukup untuk menyelesaikan masalah ini? Solusi yang ditawarkan pemerintah sejatinya tidak pernah menyentuh akar persoalan. Solusi dari pemerintah juga hanya berupa solusi duniawi tanpa mempertimbangkan aspek akhirat. Padahal, keluarga harus menjadi tempat pertama di mana anak-anak dan setiap anggota keluarga mengenal Rabb mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun