Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rupiah Melemah Buah dari Sistem yang Salah

15 Mei 2024   10:28 Diperbarui: 15 Mei 2024   10:30 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran di Timur Tengah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Sebagian besar pakar khawatir bahwa keberlanjutan konflik dapat memengaruhi ekonomi Indonesia.

Pada pekan ketiga April, kurs rupiah per dolar AS berada di atas Rp16.000. Ini merupakan pengulangan dari empat tahun lalu, saat awal pandemi COVID-19. Menurut Teuku Riefky, peneliti makroekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, pelemahan rupiah ditakutkan akan memicu inflasi dan meningkatkan harga komoditas impor, termasuk bahan baku industri. Akibatnya, daya beli masyarakat akan melemah. (BBC Indonesia, 21-4-2024).

Meskipun ada faktor lain yang menyebabkan rupiah melemah, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah bukti bahwa imperialisme Amerika Serikat saat ini mengontrol dunia. Sebagaimana dilaporkan oleh BBC Indonesia (21-4-2024), ada beberapa faktor penyebab pelemahan rupiah, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa bank sentral AS, atau Federal Reserve, akan mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk waktu yang lebih lama untuk meredam laju inflasi AS. Investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS selama suku bunga Fed tetap tinggi, yang memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Kedua, konflik yang semakin memuncak antara Israel dan Iran di Timur Tengah. Pada hari Sabtu, 13 April 2024, Iran menanggapi serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya dengan serangan dengan lebih dari 300 rudal dan drone. Khawatir bahwa konflik Israel-Iran akan mengganggu rantai pasokan minyak dunia, terutama jika Iran memblokade Selat Hormuz, yang dianggap sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia.

Jika itu terjadi, pasokan minyak akan terganggu, yang akan menyebabkan harga melonjak. Karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak, investor mempertimbangkan Indonesia sebagai negara yang berisiko. Hasilnya, Indonesia mungkin mengalami defisit neraca perdagangan dan akan membutuhkan lebih banyak uang untuk mengimpor minyak. Dengan kata lain, nilai transaksi yang terjadi antara impor dan ekspor lebih besar. Ini akan menimbulkan tekanan tambahan yang dapat melemahkan rupiah.

Dari kedua faktor tersebut, yang paling berpengaruh signifikan sebenarnya adalah peran dolar AS sebagai mata uang internasional yang mengontrol nilai tukar mata uang negara lain. Tidak hanya rupiah yang melemah, tetapi jika bank sentral AS menaikkan suku bunga, akan berdampak pada mata uang negara lain. Dengan demikian, AS berperan sebagai pengendali mata uang internasional.

Dolar Amerika saat ini adalah mata uang utama dalam transaksi global. Perekonomian dunia dipengaruhi oleh kekuatan dolar AS, yang berarti bahwa AS dapat memberi sanksi ekonomi dan finansial kepada negara yang disasar, serta mencegah negara lain berdagang dengan negara yang disasar. Dengan kata lain, status Amerika Serikat sebagai penganut ideologi kapitalisme dan dominasi dolarnya sangat memengaruhi keadaan ekonomi dunia.

Setelah pandemi empat tahun lalu, rupiah melemah dan ekonomi Indonesia kalang kabut. Sekarang, sebagai akibat dari konflik global, rupiah melemah lagi, dan ekonomi Indonesia mengalami kesulitan. Ketidakstabilan nilai tukar rupiah jelas berdampak negatif pada kehidupan masyarakat Indonesia. Karena mata uang kertas masih merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia, masyarakat pasti akan tetapi terkena dampaknya. Apa akibatnya?

Pertama, dengan nilai tukar rupiah yang kian melemah, Indonesia harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk impor. Ini karena negara ini hampir 90% impor bahan baku untuk bisnis dalam negeri. Sebagai akibatnya, pengusaha makanan dan minuman yang sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku impor akan mengalami kenaikan biaya produksi dan logistik. Dengan kata lain, harga barang yang sampai pada konsumen pasti akan naik.

Kedua, kenaikan harga minyak global akan berdampak pada biaya produksi produk energi seperti BBM dan LPG. Peningkatan harga ini akan mengikuti kenaikan harga produk lain karena keduanya berfungsi sebagai sumber energi utama untuk berbagai produk.

Produksi minyak mentah, BBM, dan LPG Indonesia saat ini hanya mencapai 670 ribu barel minyak per hari (BOPD), sementara konsumsi nasional mencapai 1,3 juta BOPD dan impor LPG menempati 65% dari konsumsi nasional. Semakin tinggi defisit neraca perdagangan, dapat menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi dan memicu inflasi.

Ketiga, daya beli masyarakat akan menurun sebagai akibat dari inflasi yang cukup tinggi. Menjaga daya beli masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Konsumsi rumah tangga yang bertujuan untuk konsumsi barang dan jasa menyumbang setengah dari perekonomian Indonesia. Kegiatan ekonomi dapat berhenti jika daya beli masyarakat menurun. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Kegiatan ekonomi dapat mengalami penurunan jika daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan menurun.

Jika hal ini terjadi, pemerintah biasanya menyelesaikan masalah daya beli rakyat dengan memberikan bansos, subsidi BBM, atau menetapkan harga BBM di bawah harga pasar, serta bantuan sosial yang serupa yang dapat mendorong perekonomian masyarakat. Selama dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional dan ketergantungan Indonesia terhadap impor terus berlanjut, kondisi ini akan terus terjadi secara bertahap.

Karena fiat money tidak lagi memerlukan cadangan fisik seperti emas dan perak, penggunaan uang kertas (uang fiat) sebagai alat pembayaran sah sebenarnya sangat rentan terhadap inflasi, sehingga nilainya akan terus menurun.

Sistem mata uang berbasis emas dan perak yang ditetapkan oleh Islam lebih stabil dan adil, sehingga secara ekonomi akan aman dan aman dari krisis. Mata uang emas dan perak telah digunakan sejak masa Rasulullah Saw. Ini merupakan mata uang paling stabil yang pernah ada. Nilai mata uang Islam dwilogam tetap stabil dalam hubungannya dengan barang konsumtif sejak dulu hingga sekarang.

Sebagai contoh, seekor kambing pada zaman Nabi harganya adalah 1 dinar, atau yang lebih besar 2 dinar. Hari ini, 1400 tahun kemudian, harga kambing kurang lebih sama, yaitu 1 atau 2 dinar. Harga ayam pun sama, yaitu 1 dirham. Dengan demikian, inflasi harga kambing dan ayam tidak terjadi selama 1.400 tahun.

Maka, jelaslah bahwa sistem mata uang emas dan perak sangat tahan terhadap inflasi dan krisis. Menurut Dwi Condro Triono, seorang pakar ekonomi syariah, mata uang harus memenuhi tiga persyaratan.

Pertama, mata uang tersebut harus dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai barang dan jasa, seperti harga dan upah. Kedua, uang tersebut harus dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab dan bukan badan yang tidak diketahui (majhl). Ketiga, uang tersebut harus tersebar luas dan dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya sekelompok orang tertentu.

Ketiga syarat akan terpenuhi jika emas digunakan sebagai mata uang resmi negara dan bukan sekadar komoditas. Negara ini akan memiliki kekuatan ekonomi jika menggunakan mata uang emas. Ini karena mata uang emas tidak dapat dipermainkan atau dimanipulasi oleh mata uang kertas mana pun, apapun kekuatan mereka. Sebaliknya, seluruh mata uang kertas di seluruh dunia akan menstandarkan nilai tukarnya pada mata uang emas ini dan bertekuk lutut padanya.

Penggunaan mata uang emas dalam sebuah negara hanya bisa terealisasi jika negara tersebut menerapkan sistem Islam sebagai aturan negaranya. Ekonomi rakyat akan stabil jika sistem Islam (Khilafah) dan sistem mata uang emas diterapkan. Selain itu, masyarakat tidak akan khawatir tentang krisis ekonomi, resesi, atau pelemahan nilai tukar mata uang.

Selama negara ini menganut kapitalisme dengan sistem ekonominya yang didasarkan pada uang ribawi dan fiat, kondisi melemahnya rupiah akan terus berlanjut. Sebaliknya, jika negara ini mengadopsi sistem ekonomi Islam, yang didasarkan pada emas dan perak, dengan berbagai keunggulan dalam hal bahan, jangka waktu, dan nilainya, maka akan membuat ekonomi lebih stabil dan kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun