Pembaharuan Undang-Undang dalam kurun waktu tertentu lazim terjadi. Perubahan dan tuntutan zaman mendesak agar pemerintah terus update. Tidak terkecuali di dunia pendidikan. Perubahan kurikulum baru-baru ini memberi dampak yang signifikan bagi guru maupun siswa.
Tidak hanya kurikulum, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  kini turut diperbaharui. Pembaharuan tersebut bukan tanpa alasan. UU SISDIKNAS 2003 direvisi untuk mengatasi dampak kemunduran belajar (learning loss) dalam proses belajar siswa akibat pandemi Covid-19 yang telah menjajah Indonesia selama lebih kurang dua tahun.Â
Hasil revisi UU SISDIKNAS 2003 ialah RUU SISDIKNAS tahun 2022. Terdapat perubahan pasal dalam RUU SISDIKNAS terbaru. Termasuk hilangnya pasal khusus mengenai bahasa pengantar untuk pendidikan.
Sebelumnya pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional tertuang dalam Bab VII pasal 33.
Sedangkan pada RUU SISDIKNAS versi Agustus 2022 tidak mencantumkan pasal atau ayat tentang bahasa pengantar pendidikan. Namun, bahasa Indonesia tetap ada dalam bentuk muatan wajib yang dituangkan dalam mata pelajaran.
Hal tersebut mengundang diskusi pihak tertentu seperti pengurus IKAPROBSI (Ikatan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) mengenai hilangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Selama ini bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pendidikan sebelum munculnya sekolah yang mewajibkan menggunakan bahasa asing.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah diikrarkan pada 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda melalui berbagai perjuangan dan juga diatur dalam UUD 1945 Bab IV pasal 36.
Bahkan pada masa penjajahan Jepang tahun 1945, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari karena bahasa Belanda sudah tidak boleh digunakan. Â
Apabila bahasa Indonesia tidak diatur dalam RUU SISDIKNAS 2022 sebagai bahasa pengantar pendidikan, guru dan siswa bebas menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah di sekolah.
Artinya, guru dan siswa dari daerah Sunda dapat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar pendidikan. Begitupun dengan guru dan siswa di Jawa. Meski hal tersebut dapat dicap sebagai pelestarian bahasa daerah, bukankah hal itu menghilangkan eksistensi bahasa Indonesia di bidang pendidikan?