Mohon tunggu...
Anissa
Anissa Mohon Tunggu... Buruh - Just like that

Sederhana dan Cukup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bintang

14 Mei 2024   19:01 Diperbarui: 14 Mei 2024   19:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin kala sore itu mengiringi langkah ini menuju halte bus yang amat sepi. Mungkin mereka memilih untuk memakai kendaraan pribadi daripada berdesak-desakan dengan penumpang lain yang tak saling kenal. Aku belum bisa mengendarai kendraan sendiri, meski aku punya, aku belum menyempatkan diri untuk belajar mengendarainya. Dan beginilah aku, sampai kini ke mana saja menggunakan kendaraan umum.

Duduk sendirian, aku menikmati semilir angin sore, ketika matahari  masih menyinari bumi dari arah barat sana. Kini jam telah menunjukkan pukul 05:05, tetapi matahari masih betah di sana. langit di ujung barat tampak memancarkan warna jingga dengan samar semburat kemerahan. Dan aku masih sendiri sampai 5 menit kemudian.

"Hai, sendirian aja."

"Oh, Bintang. Hai, sini duduk."

Aku menepi ke sebelah kiri dan dia duduk di tepi lain dari tempat duduk yang disediakan di halte bus ini. Halte Harjosari 2 adalah salah satu nama halte untuk menunggu BRT TransJaTeng, yang kini menjadi salah satu tempat berarti dalam ingatanku. Berlatar belakang senja dan hadirnya yang tak terduga membawa bahagia tersendiri.

"Mau aku anter? Kita searah kan."Ia memandang ke arahku dan kami saling tatap, ia menawari sambil tersenyum begitu manisnya, sedang aku hanya memasang raut wajah datar. Aku lebih tertarik dengan matanya yang berwarna coklat terang tampak berpendar begitu indah tersorot cahaya matahari yang sebentar lagi tenggelam. Hebatnya aku, dalam kesunyian ini terpaku melihatnya tanpa tersenyum malu atau bahkan memalingkan muka seperti yang biasa aku lakukan saat ia menatap mataku. 

"Thanks, ga perlu. Aku biasa naik bus, ga apa." Aku menggeleng untuk meyakinkan bahwa aku sungguh tak apa pulang sendiri. Mendengar jawabanku ia mengalihkan pandangan menatap ke atas, entah apa yang ia lihat. Tapi tampak agak, kecewa, benarkah? Aku sungguh tak tahu isi hatinya.

"Kamu darimana? Kok liat aku di sini," kakiku yang tak begitu panjang ini bisa kuayunkan pelan, dengan kedua tanganku bertumpu pada besi memanjang yang dijadikan tempat duduk ini.

"Aku tadi baru isi bensin, tuh motornya di situ." Telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah tempat parkir yang disediakan di sekitar pom bensin, yang letaknya memang tak jauh dari halte ini. Aku mengangguk setelah memastikan bahwa yang terparkir di sana memang sungguh sepeda motornya. Pantas saja ia tadi datang dari arah kanan halte menurut sudut pandangku yang duduk di sana.

"Kita udah lama ya, ga ngobrol bareng, seperti beberapa minggu lalu." Aku memandang ke arah depan, lalu lintas yang tak begitu padat, tapi cukup menimbulkan kebisingan setiap mereka melalui jalan di depan kami. Walau begitu, aku sadar ia memandangku tanpa henti, oh Tuhan tolonglah, hentikan tindakan dia itu, begitu yang hanya bisa aku katakan dalam hati saja.

"Kita kan sering ketemu Tang, kita juga satu tim."

"Tapi kita ga satu bagian kerja, sekarang aku jarang liat wajah kamu itu." Sekilas aku melihat ke arahnya, ia ternyata masih terus meluruskan pandangannya ke arahku. Senyum manis kembali muncul di raut wajahnya yang tampak tengil, seolah perkataannya hanya candaan. Tapi memang sungguh beberapa minggu ini kami jarang bertukar kata atau bahkan hanya bertatap muka secara langsung. Begitulah aku, berjarak lebih dari dua bangku, maka seolah kita tidak saling mengenal lagi, kecuali kita punya urusan penting.

"Alin," samar-samar ia menyebut namaku,"aku kangen kamu." Sontak saja aku menengok ke arahnya dengan tak percaya, ia merindukanku? Aku sungguh menolak pernyataan itu.

"Ah masa sih, ga percaya aku."

"Sungguh, itu yang aku rasakan." Ada raut kecewa yang kembali menghiasi wajahnya, sedangkan aku malah tertawa tanpa rasa bersalah. Lagi dan lagi bulu matanya mencuri perhatianku. Namun ia tak lagi menatapku, maka aku bisa dengan leluasa menatap bulu mata panjangnya yang lentik, lalu matanya yang terbingkai alis hitam cukup tebal, netraku turun menyusuri setiap helai bulu mata kirinya, lalu kembali terperangkap pada lensa matanya, untuk kesekian kalinya aku mengagumi bagian terindah dari ciptaan Tuhan yang tak bisa aku lewatkan barang sedetikpun. Dengan mata itu ia pandai menelisik seseorang, hanya sekali pengamatan dan ia akan langsung memahaminya. Menakutkan tapi juga mengagumkan.

"Itu yang aku rasakan,kalo Alin ga merasakan hal yang sama ga papa juga." Perkataan Bintang justru menimbulkan rasa sungkan dan beban yang mengganjal di hatiku.

Jujur saja, selama kami tak lagi dalam satu bagian kerja aku memang selalu menghindarinya dan mempersingkat interaksi di antara kita. Sebisa mungkin aku akan mencari celah lain agar tidak perlu berhubungan atau berkomunikasi dengannya. Tapi, jika seperti saat ini, ia menungguiku langsung, maka aku tak bisa berkutik atau mengelak untuk menghindar darinya. Tindakanku akan terlihat begitu saja, bahwa selama ini aku sungguh menghindarinya.

"Kamu kenapa Tang?" Bodoh, memang bodoh Alin, masih menanyakan kenapa? Padahal dengan jelas ia mengatakan bahwa ia merindukanku. Aku tak tahu itu sungguh dari dalam hatinya atau hanya candaan saja.

Sikapnya yang amat ramah pada siapa saja membuatku memilih untuk menjauhinya, aku dan dia hanya berteman saja dan cukup sampai di sana, tak perlu sedekat itu lagi. Jadi, untuk kesekian kalinya aku menekankan pada hatiku, jangan terbawa suasana, karena apa? Semua orang ia perlakukan sama, aku tak mau merasa istimewa, karena kenyataan yang belum tentu sama seperti khayalanku bukan? Kelihatannya ini menjadi salah satu sifat tokoh figuran.

Maka percakapan hari itu berakhir menggantung, aku tak tahu kapan kisah itu akan kembali berlanjut, setelah untuk kesekian purnama kami tak pernah lagi bertatap muka maupun bertegur sapa. Mungkin setelah perpisahan yang tak terduga itu ada kisah lain yang masih akan terus berlanjut, atau mungkin saja kenangan saat makan bersama di suatu warung makan bakso menjadi momen terakhir kita bertemu dan berbincang bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun