"Tapi kita ga satu bagian kerja, sekarang aku jarang liat wajah kamu itu." Sekilas aku melihat ke arahnya, ia ternyata masih terus meluruskan pandangannya ke arahku. Senyum manis kembali muncul di raut wajahnya yang tampak tengil, seolah perkataannya hanya candaan. Tapi memang sungguh beberapa minggu ini kami jarang bertukar kata atau bahkan hanya bertatap muka secara langsung. Begitulah aku, berjarak lebih dari dua bangku, maka seolah kita tidak saling mengenal lagi, kecuali kita punya urusan penting.
"Alin," samar-samar ia menyebut namaku,"aku kangen kamu." Sontak saja aku menengok ke arahnya dengan tak percaya, ia merindukanku? Aku sungguh menolak pernyataan itu.
"Ah masa sih, ga percaya aku."
"Sungguh, itu yang aku rasakan." Ada raut kecewa yang kembali menghiasi wajahnya, sedangkan aku malah tertawa tanpa rasa bersalah. Lagi dan lagi bulu matanya mencuri perhatianku. Namun ia tak lagi menatapku, maka aku bisa dengan leluasa menatap bulu mata panjangnya yang lentik, lalu matanya yang terbingkai alis hitam cukup tebal, netraku turun menyusuri setiap helai bulu mata kirinya, lalu kembali terperangkap pada lensa matanya, untuk kesekian kalinya aku mengagumi bagian terindah dari ciptaan Tuhan yang tak bisa aku lewatkan barang sedetikpun. Dengan mata itu ia pandai menelisik seseorang, hanya sekali pengamatan dan ia akan langsung memahaminya. Menakutkan tapi juga mengagumkan.
"Itu yang aku rasakan,kalo Alin ga merasakan hal yang sama ga papa juga." Perkataan Bintang justru menimbulkan rasa sungkan dan beban yang mengganjal di hatiku.
Jujur saja, selama kami tak lagi dalam satu bagian kerja aku memang selalu menghindarinya dan mempersingkat interaksi di antara kita. Sebisa mungkin aku akan mencari celah lain agar tidak perlu berhubungan atau berkomunikasi dengannya. Tapi, jika seperti saat ini, ia menungguiku langsung, maka aku tak bisa berkutik atau mengelak untuk menghindar darinya. Tindakanku akan terlihat begitu saja, bahwa selama ini aku sungguh menghindarinya.
"Kamu kenapa Tang?" Bodoh, memang bodoh Alin, masih menanyakan kenapa? Padahal dengan jelas ia mengatakan bahwa ia merindukanku. Aku tak tahu itu sungguh dari dalam hatinya atau hanya candaan saja.
Sikapnya yang amat ramah pada siapa saja membuatku memilih untuk menjauhinya, aku dan dia hanya berteman saja dan cukup sampai di sana, tak perlu sedekat itu lagi. Jadi, untuk kesekian kalinya aku menekankan pada hatiku, jangan terbawa suasana, karena apa? Semua orang ia perlakukan sama, aku tak mau merasa istimewa, karena kenyataan yang belum tentu sama seperti khayalanku bukan? Kelihatannya ini menjadi salah satu sifat tokoh figuran.
Maka percakapan hari itu berakhir menggantung, aku tak tahu kapan kisah itu akan kembali berlanjut, setelah untuk kesekian purnama kami tak pernah lagi bertatap muka maupun bertegur sapa. Mungkin setelah perpisahan yang tak terduga itu ada kisah lain yang masih akan terus berlanjut, atau mungkin saja kenangan saat makan bersama di suatu warung makan bakso menjadi momen terakhir kita bertemu dan berbincang bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H