Mohon tunggu...
Anissa
Anissa Mohon Tunggu... Buruh - Just like that

Sederhana dan Cukup

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sadar

29 Oktober 2023   17:55 Diperbarui: 29 Oktober 2023   17:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Malam semakin larut, alam bawah sadarku kembali berkelana dalam ruang dimensi lain. Terpejamlah mataku dan seluruh fungsi anggota tubuh yang melemah, hanya nafas yang tetap terhembus dalam ketidak-sadaran ragaku.

Aku tak pernah tahu, ada apa saja sebenarnya dalam dunia alam bawah sadarku ini. Kerap kali kejadian yang kualami berada pada tempat tertentu dan sama seperti sejak awal aku mengenali tempat itu.

Ingin sekali aku menjelajahi seluruh tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tetap sama dan selalu terasa asing tapi seolah aku pernah hidup dan tinggal lama di sana. Bagaimana jadinya jika aku memaksakan diri untuk menjelajahinya? Bahkan sekejab di sana ternyata semalam telah berlalu.

Pantas saja ada yang berkata 1000 hari di bumi sama dengan sehari di dunia itu. Rupanya dimensi lain memiliki durasi waktu yang berbeda dalam seharinya.

Aku tak tahu topik macam apa yang kubahas ini, aku hanya ingin mengungkapkan apa yang kini ada dalam pikiranku.

Pada dasarnya aku sangat menyukai hal-hal yang penuh dengan teka-teki, kesulitan, misteri, dan hal yang mungkin jarang bagi orang untuk membahasnya atau sekedar mencari tau tentangnya.

Ya, aku menyukai sesuatu yang jarang di sukai orang lain. Sebagai contoh artis biasa yang memiliki bakat, aku menyukainya sangat, tapi ketika ia menjadi terkenal dan memiliki banyak penggemar, entah kenapa aku tak lagi minat dengan orang tersebut. Okey, mungkin aku bisa kagum dengan karyanya, tapi respect yang kumiliki untuk orang tersebut tak sebesar sebelum ia menjadi seterkenal itu.

Sikap ini tentu tak baik, jika kuambil kesimpulan, aku tak menyukai seseorang dengan tingkat ketenaran yang tinggi. Padahal mereka melakukan itu atas dasar agar sebagian dari mereka memiliki banyak penggemar kan? Selain untuk menyalurkan bakat dan minat mereka?

Sampai kini aku juga tak tau kenapa diriku seperti ini. Abaikan biarkan saja. Begitu pikirku. Akan tetapi aku harus tahu apa sebabnya hingga aku mempunyai pemikiran demikian. Apakah ada yang salah dengan diriku? Apakah ada sesuatu yang tak semestinya dalam diriku ini? Apa itu rasa iri? Apakah itu bentuk rasa bosan akan suatu hal?

Iri, agaknya tidak. Aku bukan orang yang senang menjadi pusat perhatian, aku lebih suka sendiri dalam keramaian. Aku bisa dan mampu untuk berinteraksi dengan mereka, jika aku mau dan biasanya juga bisa. Tapi, hanya ketika aku menginginkannya.

Bosan, bisa saja. Meski aku tak begitu mengenalnya. Seseorang yang cukup terkenal akan lebih banyak mengekspresikan diri mereka secara publik baik itu disengaja mau pun tak sengaja. Misterius, ya aku suka yang seperti itu, setelah mereka terkenal secara publik kesan misterius dan menarik itu luntur perlahan, hingga aku sama sekali tak tertarik untuk mengikuti kegiatan yang dipublikasikan oleh mereka. Pencitraan tentu bisa saja terjadi bahkan mungkin berbeda dari bagaimana kenyataan hidup mereka. Tapi meski begitu tidak menutup kemungkinan sebagian dari diri mereka telah terkuak dan tidak lagi menjadi teka-teki bagiku.

Begitulah aku yang tidak lagi tertarik akan sesuatu setelah aku tahu lebih banyak tentang mereka. Kemungkinan ada misteri lain, tapi sayangnya aku tak tertarik untuk mencari dan mendalaminya lagi.

Entahlah, apa yang baru saja aku bahas ini. Tapi mungkinkah orang lain juga mengalaminya? Lost interest, itu bukan hal yang baru lagi bukan? Tentu manusia ada kalanya akan bosan dengan sesuatu bukan?

Lantas mereka punya beberapa pilihan yang bisa mereka lakukan untuk mengusir kebosanan itu. Meninggalkan sepenuhnya dan mencari yang baru, menjauh sejenak lalu kembali, atau memaksakan diri untuk menetap. Atau mungkin ada pilihan lain? Bisa saja menetap sambil mencari yang baru sebagai selingan. Apa pun itu, rasa bosan bukan hal yang sesederhana itu, karena nyatanya yang sederhana cukup rumit bagi sebagian orang.

Sederhana itu menurutku punya relativitas bagi setiap orang, dan karena pikiran orang itu berbeda-beda, menjadikan gambaran sederhananya pun berbeda dalam pemahaman mereka.

Gelap, begitu tak terbaca dan hanya mereka sendiri yang paham. Namun mereka selalu menyangkal apa yang memang sebenarnya telah mereka tahu. Begitu pemikiran seseorang berpadu dengan intuisi mereka sendiri.

Dan dalam kesendirian itu, pikiran mereka tak pernah berhenti untuk memutar otak entah ada saja yang menjadi topik dalam kepala mereka. Bekerja tanpa henti secara sadar dan tak sadar, tetap mengingat walau separuh waktu hidup telah terlewati dengan penuh peristiwa. Hanya saja, manusia tak punya banyak waktu untuk sekedar mengenang masa lalu, apa lagi jika itu menggores hati. Seolah amnesia, itu hal baik, tak perlu lagi mengingat masa sakit.

Tapi sakitnya itu, membentuk pertahanan diri agar rasa sakit yang sama tak terulang lagi. Begitu seharusnya, tapi ada yang dengan bodohnya mengulangi hal yang sama walau tahu konsekuensi sakit yang sama akan di dapatkan, atau bahkan lebih buruk karena luka sebelumnya belum sembuh sepenuhnya.

Seperti sejatinya seorang pendekar yang tak akan berhenti memperjuangkan apa yang mereka miliki untuk dipertahankan dan apa yang mereka inginkan, berulang kali gagal bukan masalah bahkan lebih memilih mati daripada mengalah.

Tak ada yang salah, karena manusia punya banyak pilihan dan jalan dalam hidup untuk tujuan mereka sendiri. Memperjuangkan itu memanglah sulit tapi tak ada yang mustahil. Seperti memperjuangkan kebebasan, apakah sungguh bisa sebebas itu?

Sepertinya tidak, manusia selalu punya batasan dan tatanan. Tanpa peraturan yang membatasi kebebasan, mungkin segalanya akan hancur, entah perlahan atau mungkin hanya dalam sekejap mata.

Dan dalam kesendirian ini, aku merenungi semua hal itu. Manusia, ada kalanya aku seorang manusia juga letih dengan semua ini. Bolehlah kita mengeluh, tapi tentu aku akan tetap melanjutkan hidup ini. Aku ingin menangis, dan agaknya di tempat antah berantah di bawah alam bawah sadarku itu lebih bebas. Aku bisa dengan leluasa mengungkapkan dan melakukan apa saja yang aku mau di sana.

Lalu, setiap kali terbangun dari tidur ini, aku  bersyukur dan setelahnya mengeluh kembali. Bagaimana pun itu, semua kehendak Tuhan, jadi biarlah tetap begitu dan nikmati roller-coaster kehidupan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun