Mohon tunggu...
Dreamer
Dreamer Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer- Writer

Mengukir masa depan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Star Syndrome, Puncak Semu Popularitas

31 Oktober 2020   22:17 Diperbarui: 3 November 2020   21:02 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi star syndrome. (sumber: pixabay)

Sabtu (31/10)- Media sosial kini jadi wadah bagi siapa saja untuk berekspresi. Tidak kenal batasan usia dan status sosial, media sosial seakan menyatukan berbagai lapisan dalam satu loyang yang sama. 

Hingar-bingar kehidupan masyarakat bukan hanya tercermin dalam kehidupan nyata, namun di dunia maya, itu semua juga terjadi, bahkan dalam intensitas yang lebih tinggi. 

Bagaimana tidak? Media sosial memfasilitasi setiap pengguna untuk menciptakan dunianya sendiri, membagikan segala hal bahkan yang tidak penting sekalipun, seakan-akan itu semua dibutuhkan orang lain. Karena hal tersebut, banyak pengguna menjadikan media sosial sebagai panggung pertunjukan. 

Bagi mereka yang merasa mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya dalam dunia maya, merasa menciptakan pengaruh yang luar biasa bagi para "pengikutnya", tidak sedikit dari mereka yang sedang berada pada puncak semu popularitas atau sebutlah dengan istilah star syndrome.

Apa yang dimaksud dengan istilah star syndrome? Dalam dunia medis, istilah ini sebetulnya digunakan untuk menjelaskan suatu penyakit langka kelainan bentuk tubuh yang disebut dengan STAR syndrome, namun istilah ini memiliki arti populer lainnya di kalangan masyarakat.

Star atau yang dapat diartikan sebagai bintang dimaknai sebagai seseorang yang berada pada puncak popularitas dan syndrome yang berarti himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak ( KBBI Online). 

Star syndrome dapat diartikan sebagai orang-orang yang bertingkah laku seperti bintang dan cenderung terfokus pada popularitas semata. Terkadang dari mereka yang terkena istilah ini, akan lupa dengan masa lalu dan latar belakang kehidupannya di dunia nyata dan memandang titik paling terang akan selalu menerangi tempat dimana ia berpijak. 

Fenomena Star Syndrome dI Indonesia

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Di Indonesia, istilah star syndrome banyak disematkan kepada "artis-artis" media sosial, terutama kepada mereka yang "berkarir" di Instagram. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya, banyak dari mereka yang mendapatkan popularitas karena sensasi yang kemudian viral dan menjadi bahan perbincangan masyarakat dan pada akhirnya menjadikan nama mereka melambung tinggi. 

Tentu anda masih ingat dengan kejadian viral yang belakangan ini menghebohkan jagat dunia maya. Video berdurasi kurang dari 20 detik dengan kualitas gambar seadanya yang menampilkan seorang lelaki sunda dengan kawakan yang jenaka sedang mereview makanan, sebut saja dengan A. 

Video tersebut ditutup dengan slogan menohok dan khas yang  kemudian  berhasil membawa A menjadi trending topic twitter selama tiga hari atau lebih dan dielu-elukan di hampir seluruh jagat raya media sosial. Bak rejeki nomplok, sorotan yang terus menerus mengarah kepadanya kini menggiring A menuju Ibu Kota. 

Popularitas yang ia dapat dalam semalam membuahkan harapan manis untuk nasib dan masa depannya. Beberapa waktu yang lalu, terdengar kabar bahwa A mulai berlakon dalam sitkom yang ditayangkan di televisi nasional bahkan diundang menjadi bintang tamu pada beberapa podcast. 

Tetapi belakangan ini, tersiar kabar sensasi tentang A. Netizen mulai mengaitkan sikapnya seperti pribahasa kacang lupa kulitnya, terlalu terlena dengan puncak semu popularitas, berspekulasi bahwa sepertinya A mulai terjangkit star syndrome. 

Netizen mulai mengaitkan istilah ini ketika video A yang menunjukan sikap bercanda berlebihan dengan seorang komedian senior. A dianggap tidak tahu tempat dan melupakan sopan santunnya dalam bersikap, mengingat budaya menghormati yang lebih tua masih sangat kental di Indonesia dan penting untuk tetap diterapkan dalam situasi apapun, sekalipun dalam bercanda gurau. 

Lantas, apa yang mengindikasikan A terkena star syndrome? A dapat dikatakan sebagai pendatang baru dalam dunia panggung hiburan. 

Sorotan yang terus-menerus mengarah kepadanya menimbulkan rasa puas yang luar biasa sehingga A mungkin saja beranggapan bahwa wajar baginya untuk berkespresi sebebas-bebasnya tanpa berpikir resiko apa yang akan ditimbulkan. 

Bisa juga apa yang A lakukan adalah bentuk upaya untuk mempertahankan popularitasnya, dengan terus menerus memposting video berisi kata-kata kasar yang sebetulnya sudah menjadi ciri khas A dari awal ia mendapatkan ketenaran, tetapi di lain sisi sudah tidak ada relevansi bagi rata-rata netizen. Namun, sikap yang diambil A justru menggiringnya pada puncak semu popularitas. 

A lupa bahwa semakin ia melambung tinggi, semakin besar ekspektasi publik yang harus ia penuhi. A dirasa terlalu cepat puas dengan ketenaran yang dicapainya sampai tidak tersadar bahwa sejatinya, prestasi yang akan membuat seseorang berkembang pada ranahnya. 

Begitupula dalam dunia panggung hiburan. Bukan dukungan dan pujian yang A dapatkan, justru komen negatif kini mulai menghiasi dinding komen portal berita yang memuat informasi seputar A. 

Dapat Mengancam Mereka yang Merasa Unggul

Star syndrome bisa terjadi pada public figure, atlet, pejabat dan siapa saja yang sedang berada pada titik paling atas sebuah popularitas. Merasa haus akan pujian setiap saat, dan merasa menjadi pusat perhatian adalah kebutuhannya. 

Untuk membuktikan star syndrome, dua peneliti bernama Kathy Kreiner Phillips dan Terry Orlick dari Universitas Ottawa melakukan riset terhadap 17 atlet juara dunia dari berbagai cabang olahraga. Hasilnya, 2/3 dari mereka jatuh dan sirna dari popularitas. 

Ada berbagai macam alasan, namun setidaknya ada dua penyebab utama.

Pertama, mereka terlanjur terlena dengan pencapaiannya dan kedua, mereka kesulitan untuk memenuhi ekspektasi dari orang-orang yang menuntut mereka akan prestasi dan skill yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. 

Harapan tersebut berubah menjadi beban, dan beberapa orang tidak sanggup menanggung beban tersebut sehingga menjatuhkan harapan orang lain dan pada akhirnya menjatuhkan diri mereka sendiri. 

Star syndrome mengancam mereka yang merasa unggul dan berada pada puncak popularitas. Popularitas mungkin mudah untuk diraih bahkan menyuguhkan konten yang relevan dalam masyarakatpun bisa mendatangkan popularitas. Namun, mempertahankan popularitas adalah hal yang perlu diingat karena tidak semua berhasil melakukannya. 

Berpegang teguh pada prinsip hidup dan selalu berhati-hati agar terhindar dari giringan opini publik maupun informasi yang diragukan kredibilitasnya serta meningkatkan sikap sigap akan dunia yang semakin kompetitif sangat dianjurkan untuk terhindari dari syndrome ini. 

Dengan begitu, seseorang akan selalu mempersiapkan dirinya untuk bersaing secara sehat, mengembangkan dan meningkatkan skill serta kualtias diri terutama dalam bentuk prestasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun