Mohon tunggu...
Nisrina Qatrunnada
Nisrina Qatrunnada Mohon Tunggu... Lainnya - -

hello

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan dalam Kerangka Pandemi Covid-19: Tantangan terhadap Kurikulum

4 Juli 2021   22:46 Diperbarui: 4 Juli 2021   22:56 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selama beberapa dekade terakhir, beberapa peneliti dari berbagai bidang ilmiah telah menunjukkan minat yang positif dalam mempelajari cara-cara dimana berbagai bentuk teknologi, seperti teknologi informasi dan komunikasi (TIK), atau alat digital (Slj, 2010) dapat berhasil diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran dan kurikuler. 

Dengan demikian, banyak temuan penelitian sebelumnya yang selanjutnya dikontekstualisasikan dan semakin banyak digunakan dalam enam bulan terakhir untuk menekankan dampak krisis pandemi Covid-19 terhadap pendidikan, secara khusus pada proses pembelajaran formal hingga non-formal (Marinoni, Land, dan Jensen, 2020: 23-26). 

Dalam hal tersebut, fokus tulisan ini yaitu bagaimana sistem pendidikan telah mengelola tantangan utama terkait dengan peralihan paksa aktivitas pendidikan tatap muka ke pembelajaran daring (online), dengan menggunakan alat dan platform digital. Dalam hal ini, penting untuk melihat lebih jauh karena pada realitasnya tidak semua peserta didik dan pengajar memiliki akses yang sama terhadap teknologi yang ada guna menghadapi tantangan pendidikan saat ini terkait dengan pandemi Covid-19.

Tulisan ini akan membahas persoalan di atas dalam bingkai perspektif sosiologi kurikulum sebagai kerangka kerja. Melihat kurikulum atau sistem pembelajaran di masa pandemi penting untuk menggunakan perspektif ini karena dimensi sosial yang disajikan lebih memberikan gambaran utuh mengenai kurikulum sebagai ruang dari berbagai macam dinamika, mulai dari hidden curriculum yang membentuk nilai dan norma, hingga pertarungan banyak kepentingan.

Ribuan institusi pendidikan di seluruh dunia --- termasuk Indonesia --- secara bertahap dibatasi oleh pemerintah untuk mengganti kegiatan pendidikan tatap muka secara langsung dengan pendidikan jarak jauh, yang dimediasi oleh lingkungan digital. Pandemi Covid-19 berpotensi berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan dampaknya terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat kontemporer kemungkinan akan dirasakan dalam waktu yang lama. 

Pada kasus Indonesia sendiri, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah diterapkan sejak pertengahan Maret 2020, dan dibukanya sekolah bergantung pada kesiapsiagaan Covid-19 di zona risiko yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tentu saja, pandemi Covid-19 berdampak pada sistem, kegiatan, kebijakan, dan tentu saja pada praktik pendidikannya juga.

Pandemi Covid-19 memaksa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) untuk mengambil peran dalam penyusunan, pembuatan, dan implementasi kebijakan di semua lapisan sistem pendidikan, terkhusus kurikulum pembelajarannya. Secara umum, Kemendikbud-Ristek menekankan bahwa model pembelajaran di masa pandemi adalah untuk memberikan siswa pengalaman belajar yang bermakna, tanpa tekanan tradisional untuk menyelesaikan kurikulum sekolah yang disiapkan untuk kenaikan kelas dan kelulusan (Aletheiani, 2021: 5). Kurikulum sekolah dikontekstualisasikan sebagai bagian dari peserta didik dan guru, berkaitan dengan kebutuhan peserta didik, dan disesuaikan dengan situasi lokal peserta didik dan guru. Outputnya, kurikulum harus berfokus pada keterampilan hidup yang relevan dengan kondisi pandemi,

Program Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh Menteri Dikbud-Ristek memberikan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kondisi pandemi, karena dalam kebijakannya diberikan ruang bagi sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk menawarkan kegiatan pembelajaran yang inovatif sesuai dengan situasinya. 

Program ini memperluas kegiatan tidak hanya melalui pembelajaran daring (online) tetapi juga pembelajaran luring (offline), seperti pilihan pembelajaran di rumah masing-masing --- dengan memanfaatkan program pembelajaran kreasi televisi dan siaran radio serta materi pembelajaran yang tersedia di lingkungan siswa. Program ini tentu ideal untuk menjangkau daerah-daerah di nusantara yang masih menghadapi tantangan seputar akses internet yang dibutuhkan untuk pembelajaran daring.

Pendidikan formal juga semakin dipermudah oleh Kementerian dengan tersedianya aplikasi pembelajaran daring gratis seperti Rumah Belajar. Aplikasi ini dikembangkan kementerian untuk menyediakan materi pembelajaran dan platform komunikasi untuk berbagi dengan guru di seluruh Indonesia. 

Tidak hanya itu, beberapa penyedia layanan telekomunikasi bekerja sama untuk memberikan akses gratis kepada peserta didik dan guru saat menggunakan Rumah Belajar atau aplikasi pembelajaran daring lainnya di Indonesia (ex: Ruangguru, Zenius, dll). Secara paralel, peningkatan pemerataan akses ini juga merupakan bagian dari rencana jangka panjang untuk memperluas akses Internet dan meningkatkan kecepatan serta infrastruktur Internet di seluruh pelosok negeri ini.

Tidak hanya pendidikan formal, pendidikan dalam bentuk non-formal juga mengalami dampak karena kondisi pandemi saat ini. Pendidikan non-formal sangat membutuhkan hubungan emosional langsung antara pendidik dengan yang dididiknya, antara pelatih dengan yang dilatihnya. Peserta didik dan pendidik pada pendidikan non-formal juga memerlukan kemampuan literasi teknologi yang saat sangat dibutuhkan pada Era Revolusi Industri 4.0 khususnya pada masa pandemi ini. 

Dikarenakan hubungan emosional masih diperlukan, oleh karena itu sistem dan kurikulum yang berbasis blended-learning menjadi pilihan terbaik bagi pendidikan non-formal. Menjadi keharusan untuk menerapkan sistem tersebut secara sempurna karena di sisi lain, manajemen pendidikan berbasis daring harus tetap dilakukan, dengan alasan pandemi ataupun kebutuhan digitalisasi yang semakin berkembang (Karim, 2017: 122).

Pendidikan dan pembelajaran non-formal memiliki potensi yang besar untuk membantu berbagai kelompok peserta didik mencapai keadaan yang lebih diinginkan dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya. Tentu saja, penerapan kurikulumnya memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menghasilkan seperangkat perancangan, pengembangan, penerapan dan evaluasi dalam bingkai kemajuan teknologi yang dipadukan dengan bentuk komunikasi tradisional. 

Diperlukan pemahaman sosio-kultural yang lebih baik tentang bagaimana bentuk lingkup dan metode yang pas diterapkan untuk pendidikan non-formal (Ambar & Ambarita, 2017: 4-5). Kembali lagi, saat ini memang sistem blended-learning membantu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru yang dapat ditransfer ke lingkungan tempat kerja (Hilliard, 2015: 180).

Tidak lupa, dari berbagai macam penjelasan yang dipaparkan di atas, bingkai perspektif sosiologi tidak boleh luput sebagai kacamata dalam melihatnya. Sosiologi ataupun teori sosial lainnya secara umum tidak pernah sekadar penjelasan; mereka selalu melibatkan visi tentang kemungkinan sesuatu yang lebih baik (Alexander dan Colomy, 1990: 5-11). Pada konteks ini, kita bisa melihat menggunakan kacamata sosiologi kurikulum, yang mana ia membuka perspektif yang tersembunyi "hanya" dalam persoalan kurikulum pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan, terdapat kekuasaan (power) yang berperan di dalamnya, dimana kekuasaan dapat berbentuk apapun, termasuk pengetahuan menurut Foucault (Olssen, 2006: 96-97).

Tanpa memahami relasi pendidikan --- terutama kurikulum dan kekuasaan --- kita akan gagal melihat dan mengartikulasikannya secara jelas mengenai persoalan mengapa cara pandang dalam sebuah kurikulum pendidikan dapat salah. Sebagai contoh, seringkali banyak pakar dalam bidang-bidang tertentu memaksa materi di bidangnya dimasukkan ke dalam kurikulum, walaupun banyak pihak yang tidak setuju dengan gemuknya kurikulum saat ini. 

Kurikulum juga bukan hanya soal teknis, tetapi juga persoalan sosial, dimana banyak kepentingan yang berasal dari berbagai kalangan --- mulai dari kelompok masyarakat arus bawah hingga pasar kerja global yang ingin melakukan infiltrasi melalui dunia pendidikan (Hidayat, 2011: 67-68). Pengupasan hal-hal tersebut memerlukan kehadiran perspektif dari sosiologi kurikulum karena ia menawarkan paket lengkap dalam analisisnya.

Kurikulum di Indonesia pada masa pandemi tentu sangat erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Ego sektoral dapat timbul, mulai dari konsep yang ditawarkan Kemendikbud-Dikti, lalu hadir kekhawatiran dari kelompok agama, hingga keresahan dari para guru terkait penyesuaian kurikulumnya. Belum lagi, masalah bangsa yang masih harus diselesaikan seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, hingga persatuan bangsa harus dimulai dengan pendidikan sejak dini. Sosiologi kurikulum dapat menghadirkan solusi pemikiran karena ia sejatinya hadir dari tradisi critical thinking dalam melihat fenomena sosial, yang merupakan buah pikir dari berbagai macam sosiolog terkemuka dunia.

Krisis pandemi Covid-19 tentu berdampak pada sistem, kegiatan, kebijakan, dan praktik pendidikan di Indonesia. Peran baru sekolah dan pengetahuan akhirnya muncul, dengan memprovokasi kebutuhan kritis untuk memfokuskan kembali kurikulum, sambil membantu membayangkan dan membangun daya tanggap teknologi pendidikan yang kreatif serta memelihara pendidikan karakter di rumah. Era Revolusi Industri 4.0 semakin nyata pengaruhnya terhadap proses pendidikan, dan kemampuan kritis dalam memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi, hingga kemampuan menggunakan teknologi harus terus ditingkatkan.

REFERENSI

Artikel Jurnal

Aletheiani, D. R. (2021). Curricular Responsiveness to The Covid-19 Crisis: The Case of Indonesia. Prospects, 1-10.

Ambar, V., & Ambarita, A. (2017). Sistem Informasi Pengolahan Data Kelulusan Siswa Non-Formal Berbasis Web Pada Dinas Pendidikan Nasional Kota Ternate. IJIS-Indonesian Journal On Information System, 2(1), 1-9.

Farrell, L., Newman, T., & Corbel, C. (2020). Literacy and The Workplace Revolution: A Social View of Literate Work Practices in Industry 4.0. Discourse: Studies in the Cultural Politics of Education, 1--15.

Hilliard, A. T. (2015). Global Blended Learning Practices for Teaching and Learning, Leadership and Professional Development. Journal of International Education Research, 11(3), 179--188.

Karim, A. (2017). Efektivitas Partisipasi Perempuan Pada Pendidikan Non Formal di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 11(1), 119--140.

Slj, R. (2010). Digital Tools and Challenges To Institutional Traditions of Learning: Technologies, Social Memory and The Performative Nature of Learning. Journal of Computer Assisted Learning, 26(1), 53-64.

Williamson, B., R. Eynon., Potter, J. (2020). Pandemic Politics, Pedagogies and Practices: Digital Technologies and Distance Education During The Coronavirus Emergency. Learning, Media and Technology, 45(2), 107-114

Buku

Alexander, J. C., & Colomy, P. B. (1990). Differentiation Theory and Social Change: Comparative and Historical Perspectives. Columbia University Press.

Hidayat, R. (2011). Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Olssen, M. (2006). Michel Foucault: Materialism and Education. London: Paradigm Publishers.

Laporan Ilmiah

Marinoni, G., Land, H., & Jensen, T. (2020). The Impact Of Covid-19 On Higher

Education Around The World. IAU Global Survey Report: UNESCO House. Paris, France, May 2020. https://www.iauaiu.net/IMG/pdf/iau_covid19_and_he_survey_report_final_may_2020.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun