Mohon tunggu...
Nisrina Qatrunnada
Nisrina Qatrunnada Mohon Tunggu... Lainnya - -

hello

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan dalam Kerangka Pandemi Covid-19: Tantangan terhadap Kurikulum

4 Juli 2021   22:46 Diperbarui: 4 Juli 2021   22:56 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya pendidikan formal, pendidikan dalam bentuk non-formal juga mengalami dampak karena kondisi pandemi saat ini. Pendidikan non-formal sangat membutuhkan hubungan emosional langsung antara pendidik dengan yang dididiknya, antara pelatih dengan yang dilatihnya. Peserta didik dan pendidik pada pendidikan non-formal juga memerlukan kemampuan literasi teknologi yang saat sangat dibutuhkan pada Era Revolusi Industri 4.0 khususnya pada masa pandemi ini. 

Dikarenakan hubungan emosional masih diperlukan, oleh karena itu sistem dan kurikulum yang berbasis blended-learning menjadi pilihan terbaik bagi pendidikan non-formal. Menjadi keharusan untuk menerapkan sistem tersebut secara sempurna karena di sisi lain, manajemen pendidikan berbasis daring harus tetap dilakukan, dengan alasan pandemi ataupun kebutuhan digitalisasi yang semakin berkembang (Karim, 2017: 122).

Pendidikan dan pembelajaran non-formal memiliki potensi yang besar untuk membantu berbagai kelompok peserta didik mencapai keadaan yang lebih diinginkan dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya. Tentu saja, penerapan kurikulumnya memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menghasilkan seperangkat perancangan, pengembangan, penerapan dan evaluasi dalam bingkai kemajuan teknologi yang dipadukan dengan bentuk komunikasi tradisional. 

Diperlukan pemahaman sosio-kultural yang lebih baik tentang bagaimana bentuk lingkup dan metode yang pas diterapkan untuk pendidikan non-formal (Ambar & Ambarita, 2017: 4-5). Kembali lagi, saat ini memang sistem blended-learning membantu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru yang dapat ditransfer ke lingkungan tempat kerja (Hilliard, 2015: 180).

Tidak lupa, dari berbagai macam penjelasan yang dipaparkan di atas, bingkai perspektif sosiologi tidak boleh luput sebagai kacamata dalam melihatnya. Sosiologi ataupun teori sosial lainnya secara umum tidak pernah sekadar penjelasan; mereka selalu melibatkan visi tentang kemungkinan sesuatu yang lebih baik (Alexander dan Colomy, 1990: 5-11). Pada konteks ini, kita bisa melihat menggunakan kacamata sosiologi kurikulum, yang mana ia membuka perspektif yang tersembunyi "hanya" dalam persoalan kurikulum pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan, terdapat kekuasaan (power) yang berperan di dalamnya, dimana kekuasaan dapat berbentuk apapun, termasuk pengetahuan menurut Foucault (Olssen, 2006: 96-97).

Tanpa memahami relasi pendidikan --- terutama kurikulum dan kekuasaan --- kita akan gagal melihat dan mengartikulasikannya secara jelas mengenai persoalan mengapa cara pandang dalam sebuah kurikulum pendidikan dapat salah. Sebagai contoh, seringkali banyak pakar dalam bidang-bidang tertentu memaksa materi di bidangnya dimasukkan ke dalam kurikulum, walaupun banyak pihak yang tidak setuju dengan gemuknya kurikulum saat ini. 

Kurikulum juga bukan hanya soal teknis, tetapi juga persoalan sosial, dimana banyak kepentingan yang berasal dari berbagai kalangan --- mulai dari kelompok masyarakat arus bawah hingga pasar kerja global yang ingin melakukan infiltrasi melalui dunia pendidikan (Hidayat, 2011: 67-68). Pengupasan hal-hal tersebut memerlukan kehadiran perspektif dari sosiologi kurikulum karena ia menawarkan paket lengkap dalam analisisnya.

Kurikulum di Indonesia pada masa pandemi tentu sangat erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Ego sektoral dapat timbul, mulai dari konsep yang ditawarkan Kemendikbud-Dikti, lalu hadir kekhawatiran dari kelompok agama, hingga keresahan dari para guru terkait penyesuaian kurikulumnya. Belum lagi, masalah bangsa yang masih harus diselesaikan seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, hingga persatuan bangsa harus dimulai dengan pendidikan sejak dini. Sosiologi kurikulum dapat menghadirkan solusi pemikiran karena ia sejatinya hadir dari tradisi critical thinking dalam melihat fenomena sosial, yang merupakan buah pikir dari berbagai macam sosiolog terkemuka dunia.

Krisis pandemi Covid-19 tentu berdampak pada sistem, kegiatan, kebijakan, dan praktik pendidikan di Indonesia. Peran baru sekolah dan pengetahuan akhirnya muncul, dengan memprovokasi kebutuhan kritis untuk memfokuskan kembali kurikulum, sambil membantu membayangkan dan membangun daya tanggap teknologi pendidikan yang kreatif serta memelihara pendidikan karakter di rumah. Era Revolusi Industri 4.0 semakin nyata pengaruhnya terhadap proses pendidikan, dan kemampuan kritis dalam memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi, hingga kemampuan menggunakan teknologi harus terus ditingkatkan.

REFERENSI

Artikel Jurnal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun