Mohon tunggu...
nisrina miftahrahayu
nisrina miftahrahayu Mohon Tunggu... Guru - Nisrina

IESP Unej 2017

Selanjutnya

Tutup

Money

Kebijakan Quantitative Easing di Masa Pandemi dan New Normal Economy

19 Mei 2020   23:23 Diperbarui: 19 Mei 2020   23:29 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ultra Easing Monetary Policy sudah banyak dilakukan di banyak negara. Seperti AS dan Jepang. Dengan kebijakan tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi di Indonesia juga akan melakukan teori tersebut. menurut saya apabila Modern Monetary Theory atau MMT ini diterapkan di Indonesia masih bisa akan tetapi terbatas dan harus diawasi dengan ketat. 

Indonesia juga sudah menaikkan angka defisit maksimum dari 3% sekarang 5%. MMT adalah sebuah paradoks dari sebuah teori ekonomi moneter dengan menutup defisit sebuah negara melalui penambahan Jumlah Uang Beredar (JUB). MMT ini direkomendasikan ekonom Amerika Serikat pada saat pandemi Covid-19.

Jika MMT sudah ini diterapkan di Indonesia bukannya salah akan tetapi risikonya sangat besar. Indonesia bukan negara dengan PDB sebesar AS ataupun Jepang, current account juga masih sering defisit dan dibarengi dengan adanya pandemi juga menyebabkan supply barang dan jasa berkurang. 

Dengan adanya hal tersebut melakukan printing money juga harus lebih berhati-hati karena dengan menurunnya PDB dan menambah uang yang diedarkan rentan akan terjadinya inflasi yang tinggi pada kemudian hari. Dengan melakukan printing money berarti BI menambah demand disaat supply berkurang. Ini yang harus diperhitungkan.

Pada teori IS-LM Keynes, apabila kurva IS (kurva pada pasar barang) diasumsikan tetap dan LM (kurva pada pasar uang) ditambah maka kurva LM akan bergeser dari M ke M1 dengan kebijakan penurunan tingkat suku bunga dari r0 ke r1 sehingga dapat menambah pendapatan nasional dari y0 ke y1.

Dari teori Keynes diatas, bisa menjadi langkah kebijakan moneter bank sentral untuk menambah jumlah uang beredar. Akan tetapi suku bunga yang terlalu rendah dalam kondisi perekonomian yang lesu juga rentan terjadinya liquidity trap.

dokpri
dokpri
Pada kondisi liquidity trap ini menggambarkan bahwa pada tingkat suku bunga yang rendah maka elastisitas permintaan uang menjadi tidak terhingga maka spekulasi masyarakat akan menyimpan uangnya dan tidak mau menanamkan uangnya di bank karena rendahnya suku bunga sehingga banyak likuiditas yang tertahan di masyarakat yang akan berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Menambah uang beredar di Indonesia melalui pelebaran dari kebijakan fiskal. Tetapi apabila nanti sudah ada indikasi dengan adanya hyperinflation maka bank sentral harus segera menaikkan tingkat suku bunga, menaikkan giro wajib minimum dan membeli surat berharga. Disini apabila Indonesia mempraktikkan MMT pemerintah dan bank sentral harus lebih prudent terhadap inflasi.

Kebijakan MMT ini bertujuan menstimulus inflasi yang terlalu rendah shingga tidak sesuai target inflasi dari Bank Indonesia. Mengingat BI memiliki tujuan sasaran inflasi yang stabil atau Inflation Targeting Framework (ITF) maka harus berhati-hati apabila kebijakan ini diberlakukan di Indonesia. Target inflasi BI yaitu 3% dan inflasi pada bulan Mei 2020 tercatat sebesar 2,67%.  Rendahnya inflasi akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan negara-negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown), atau di Indonesia kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.

(grafik pertumbuhan ekonomi q to q) | dokpri
(grafik pertumbuhan ekonomi q to q) | dokpri
Pada grafik diatas menunjukkan hingga pada titik negatif yang menandakan menurunnya PDB juga daya beli. Menurunnya  daya beli ini tercermin dari merosotnya impor di Indonesia bahkan penurunannya lebih besar dibanding penurunan ekspor. Selanjutnya juga menurunnya angka inflasi yang menjauhi target mengindikasikan lesunya perekonomian.

Kebijakan QE sangat diperlukan dalam memperbaiki kondisi perekonomian di masa New Normal pasca lockdown atau PSBB. Setelah terjadi sebuah kejutan yang besar maka juga dibutuhkan bauran kebijakan fiskal untuk melancarkan kebijakan Quantitative Easing Monetary Policy (QE). Sudah banyak kelonggaran kebijakan fiskal maupun moneter pada saat pandemi ini seperti pembebasan tarif listrik untuk kapasitas listrik 450 Va dan potongan sebesar 50% untuk 900 Va, penghapusan pajak penghasian bagi pegawai negeri sipil pada golongan tertentu hingga adanya "kartu pintar" yang di canangkan presiden Jokowi.

Bagi pekerja yang terdampak Covid-19 juga diberi bantuan seperti diikutkan pelatihan melalui pra-kerja dan bagi warga kurang mampu mendapatkan PKH yang semata-mata juga mendukung tujuan dari kebijakan moneter yaitu meningkatkan inflasi. Dengan adanya bantuan tersebut diharapkan tetap dapat menjaga perputaran output dimasyarakat pada sisi demand.

Bauran kebijakan fiskal dan moneter pada saat New Normal sangat diperlukan. Untuk memperbaiki perekonomian maka harus memperkuat imunitas perekonomian yaitu melalui kekuatan perekonomian domestik dan memperbaiki rantai pasokan dalam keadaan yang penuh dengan ketidakpastian.

Selain itu, dalam menstabilkan inflasi di masa New Normal maka pihak Bank Sentral melakukan penurunan tingkat suku bunga hingga 4,50% dan dengan turunnya tingkat suku bunga akan berdampak terhadap penurunan suku bunga kredit. Stimulus pemerintah dari sisi supply juga melakukan kelonggaran kredit melalui penangguhan cicilan bagi koperasi dan UMKM.

Dengan kedua stimulus ini yaitu dari sisi demand maupun dari sisi supply diharapkan dapat menyuntik perekonomian dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemudian untuk mempercepat perputaran output, bank umum memperkecil angka laverage agar dana yang ada dapat diputar dimasyarakat. Lalu selain itu untuk meningkatkan daya beli masyarakat juga dapat dengan melakukan diferensiasi produk dan melalui sistem pemasaran yang baik agar konsumen dapat tertarik untuk membeli. Dari BI sendiri juga sudah menurunkan giro wajib minimum (GWM) agar banyak likuiditas yang terserap di masyarakat.

Dan hal yang paling efektif dalam menangani ketidakpastian ekonomi ini adalah melawan virus corona dengan penemuan obat dan vaksin agar semua kehidupan kembali normal. Sebelum obat dan vaksin ditemukan diharapkan semua stakeholders saling bekerjasama demi melawan virus yang berasal dari negara China.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun