Aku melihatnya setiap malam, berdiri di balik jendela. Menatap jalanan dengan pandangan lurus yang sepertinya tanpa kerjap. Tirainya hanya terbuka separuh, dari jauh wajahnya tampak pucat dan tak ada senyum.
Setiap malam selalu seperti itu, tak ada yang berubah. Sampai-sampai posisinya pun sama. Kalau kuhitung-hitung dia termasuk orang yang kuat berdiri lama. Tepat dua jam dia berdiri mematung di jendela itu. Dan seperti ada yang memanggil, dia menoleh ke belakang sebentar, kemudian menutup jendela dengan terburu-buru. Selalu seperti itu, setiap malam.
Lama-kelamaan aku terbiasa dengan pemandangan itu. Hingga bila sehari saja ia tidak muncul, seperti ada yang hilang dalam hatiku. Seperti hari ini, sudah hampir seminggu aku tak menjumpainya di jendela itu.
“Kau merindukannya?” ucap suara dalam kepalaku
Aku hanya bisa tertawa.
“Rindu? Kenal saja enggak, gimana bisa rindu? Bukankah tak kenal maka tak sayang, dan tak sayang maka tak rindu?” jawabku dalam hati sambil tertawa sendiri.
“Mengapa tak kau coba untuk mengenalnya?” tanya suara itu lagi
“Bagaimana caranya?” jawabku lagi
“Datangi saja dia, mungkin dia sakit atau mungkin dia lelah,”
“Hhhhh.....kalau aku datang ke sana, aku mau mencari siapa? Aku kan tak tahu namanya?”
“Ah, kau ini, langsung saja pergi ke sana. Pikir saja sambil jalan. Biasanya ide muncul saat detik-detik terakhir.”
“Oh.....begitu ya?” tanyaku dengan polos.
“Ya.....memang biasanya seperti itu,” ucapnya.
*****
Karena rasa penasaranku semakin besar, akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi dia. Aku yakin ini bukan rindu antar lawan jenis, karena jelas-jelas kami berjenis kelamin sama, laki-laki. Dan yang pasti aku bukan termasuk dalam barisan LGBT. Namun entahlah, seperti ada ikatan batin antara kami.
Malam ini aku sudah bersiap untuk menemuinya, kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju rumahnya. Tapi sepertinya ada yang tak biasa. Ketika aku telah mencapai pagar, di halaman depan rumahnya dipenuhi orang yang duduk berjajar. Bendera putih terpasang di dekat pagar.
Siapa yang meninggal? Batinku. Kulirik jendela di lantai dua, dimana dia biasa berdiri mematung, kosong. Aku semakin masuk ke dalam, dan di dalam rumahnya kulihat tubuh yang ditutup selembar kain batik berwarna coklat gelap.
Aku tak bisa melihat wajah jenazah. Dan rasanya sangat tidak sopan bila kubuka kain batik itu, karena aku sama sekali tak mengenal orang-orang di sekitar jenazah. Kucari-cari wajah yang biasa kulihat di balik jendela itu. Tak ada.
Jenazah akhirnya dimakamkan malam itu juga, karena menurut agama Islam, semakin cepat dimakamkan semakin baik. Aku memutuskan untuk mengikuti pemakaman, karena tetap di rumah itu dan menanyakan tentang lelaki di balik jendela adalah sangat tidak sopan, mereka sedang berkabung.
Komplek pemakaman itu telah sepi, aku mendekati nisan, untuk membaca nama siapakah yang meninggal. Lampu jalan menerangi sebagian komplek pemakaman. Dan itu telah cukup bagiku untuk membaca tulisan di nisan. Aku hanya bisa melongo, kukucek mataku untuk ketiga kalinya, nama yang tertera di sana adalah namaku sendiri.....
September ke-30
Cerpen ini diikutsertakan dalam event fiksi horor dan misteri Fiksiana Community
yuk bergabung dalam komunitas Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H