Nisrina Sri Susilaningrum, No. 81
“Pergi kau, anak sialan! Jangan pernah kembali lagi!” bentak ayahku.
Hatiku pedih, namun airmataku tak mengalir setitikpun. Hari itu langit ikut menangis, diikuti petir yang membahana. Aku menggigil kedinginan persis di tepi jalan berlumpur. Mataku kabur oleh air hujan yang menderas, tubuhku basah kuyup. Kakiku tak kuasa melangkah, aku terduduk di trotoar. Entah sudah berapa lama aku terduduk, ketika tiba-tiba sebuah payung lebar melindungiku dari hunjaman hujan. Tangan yang kokoh membantuku berdiri dan berjalan menuju Fortuner abu-abu metalik.
Sejak saat itulah hidupku berubah, aku bukanlah aku yang dulu. Dia benar-benar mengubahku menjadi wanita yang berbeda. Seorang gadis ingusan yang penakut, peragu, dan juga sangat tidak percaya diri. Kini telah menjadi wanita yang tegas, dan juga berwibawa.
Sorang yang bukan apa-apa, berubah menjadi salah satu orang paling disegani di perusahaan. Hal yang tak berani kubayangkan, dulu. Sebagai rasa terima kasihku pada Sang Penolong, hari-hariku selalu dipenuhi oleh bisnis dan perusahaan. Tak ada waktu untuk hal-hal yang tak penting. Praktis yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah bisnis, perusahaan, dan dia.
Kami jarang bertemu karena memang dia orang penting, tak pernah ada waktu santai kecuali sudah ia agendakan sebelumnya. Namun meskipun orang penting, dia tak suka publikasi. Bahkan mungkin benar-benar benci. Dia pernah bilang bahwa publikasi yang telah merenggut kedua orang tuanya.
Dia selalu datang saat hujan turun. Terkadang aku berpikir, apakah selain bisa mengubahku, dia juga bisa mengubah panas menjadi hujan? Haha...pikiran yang konyol.
Kami selalu menikmati kebersamaan dalam genggaman hujan. Hujan yang selalu menyejukkan, hujan yang menciptakan tirai magis dunia di luar sana dengan dunia kami di sini. Ah...seandainya semua hari adalah hujan, mungkin aku akan bisa selalu bersamanya. Namun itu pikiran konyol lagi kan?
Seperti hari ini, aku duduk di teras bersama senja yang gerimis. Dia datang bersama senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Wajah yang tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Dia langsung duduk di sampingku dengan dua cangkir teh melati terhidang di antara kami.
“Kau selalu tahu kesukaanku, dan bagaimana kau tahu aku akan datang?” tanyanya dengan canda yang membuatku gemas. Aku hanya memandangnya, dan dia langsung terkekeh melihat raut mukaku yang sebal.
Sesaat kami terdiam, sambil menyesap sedikit demi sedikit teh melati.
“Bolehkah aku bertanya satu hal?” tanyaku tanpa menoleh, namun aku tahu dia mengangguk.
“Mengapa kau menolongku?”
Dia memandangku agak lama, mengambil napas dalam-dalam untuk kemudian dikeluarkannya dengan perlahan. “Karena saat itu aku bagai melihat diriku sendiri, dulu...dulu sekali,” ucapnya pelan dengan mata menerawang jauh ke masa silam. Tirai itu hanya terbuka sedikit, dia pasti tak kan mengijinkan orang lain melihat masa itu, dulu...dulu sekali.
Aku hanya bisa melihat punggungnya menjauhiku ketika hujan reda. Ya, hujan telah usai, usai pula pertemuan kami, selalu begitu. Terkadang terselip dalam pikiranku, adakah dia seorang malaikat yang diturunkan bersama hujan?
Seandainya ia seorang malaikat, ia pasti tahu hatiku. Bagaimana rasanya melihat ia pergi, ketika hati menginginkan ia tinggal? Dan itu bisa jadi meringankan bebanku untuk menyampaikannya. Ah...mungkin memang sudah kodrat manusia yang tak pernah bisa puas. Seharusnyalah aku bersyukur masih bisa merasakan kebersamaan dengannya walau hanya sesingkat gerimis. Walau tak ada kata yang terucap, aku tahu bahwa kami sudah terikat. Ya, terikat oleh hujan. Hujan yang selalu mempertemukan kami.
Aku merasa dengan menunggunya di saat hujan, menyiapkan ritual minum teh melati bersama, itu sudah cukup sebagai “pernyataan” perasaanku. Biarlah waktu yang menuntunku pada takdir entah yang mana. Saat ini yang pasti adalah kedatangannya bersama hujan yang kan selalu kutunggu. Lelaki hujan.
*) Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini)
**) Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H