“Bolehkah aku bertanya satu hal?” tanyaku tanpa menoleh, namun aku tahu dia mengangguk.
“Mengapa kau menolongku?”
Dia memandangku agak lama, mengambil napas dalam-dalam untuk kemudian dikeluarkannya dengan perlahan. “Karena saat itu aku bagai melihat diriku sendiri, dulu...dulu sekali,” ucapnya pelan dengan mata menerawang jauh ke masa silam. Tirai itu hanya terbuka sedikit, dia pasti tak kan mengijinkan orang lain melihat masa itu, dulu...dulu sekali.
Aku hanya bisa melihat punggungnya menjauhiku ketika hujan reda. Ya, hujan telah usai, usai pula pertemuan kami, selalu begitu. Terkadang terselip dalam pikiranku, adakah dia seorang malaikat yang diturunkan bersama hujan?
Seandainya ia seorang malaikat, ia pasti tahu hatiku. Bagaimana rasanya melihat ia pergi, ketika hati menginginkan ia tinggal? Dan itu bisa jadi meringankan bebanku untuk menyampaikannya. Ah...mungkin memang sudah kodrat manusia yang tak pernah bisa puas. Seharusnyalah aku bersyukur masih bisa merasakan kebersamaan dengannya walau hanya sesingkat gerimis. Walau tak ada kata yang terucap, aku tahu bahwa kami sudah terikat. Ya, terikat oleh hujan. Hujan yang selalu mempertemukan kami.
Aku merasa dengan menunggunya di saat hujan, menyiapkan ritual minum teh melati bersama, itu sudah cukup sebagai “pernyataan” perasaanku. Biarlah waktu yang menuntunku pada takdir entah yang mana. Saat ini yang pasti adalah kedatangannya bersama hujan yang kan selalu kutunggu. Lelaki hujan.
*) Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini)
**) Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H